Wednesday, May 15, 2013

The True Conflict of Law

"It's so funny when law can not be enforced because of the law itself."
Nah?

Emotional Wreck

Luman tiba-tiba berada di hadapan Chiar, Chiar benar-benar merindukannya. Ia tahu kalau saat ini ia benar-benar kelihatan bodoh, berdiri di hadapan Luman dan menatapi laki-laki itu dengan penuh kerinduan. Chiar tidak bisa mengalihkan pandangannya dari  Luman.
“Hai, Chiar...” Luman tersenyum separuh, betapa Chiar merindukan senyuman itu. Senyuman yang telah ia perjuangkan.
“Hai...” balas Chiar seperti kehabisan nafas.
“Aku berharap kamu baik-baik saja,” kata Luman menatap Chiar dan tiba-tiba Chiar tersentak tentang ingatannya mengenai kejadian terakhir mereka. Luman tidak mencintainya.
Chiar hanya memberikan senyum separuh yang tidak menyentuh matanya. Ternyata rasa rindunya tidak bisa menghapuskan luka itu.
“Well, I’m good,”  jawab Chiar. Kebohongan besar yang baru saja ia lakukan.
“I am not convinced,” kata Luman.
Chiar hanya menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya.  “What are you doing here Luman?”
“To meet you.”
“Oh yeah? What for?”
“Not here, can we find a place more private?” bisik Luman melirik Chars yang sedang mengobrol dengan Karina dan Matira. Matira menatap mereka berdua hati-hati, sayangya Matira sudah mengetahui cerita Luman dan Chiar.
Chiar mengangguk setuju, kemudian ia menatap gugup ke arah Karina, Chars dan Matira. “A-aku dan Luman akan berjalan-jalan ke pinggir pulau bila kalian tidak keberatan?”
“Oh of course not...”
“Yeah, we don’t mind...”
Mereka menjawab bergantian dan tampak salah tingkah sekaligus bertukar pandang, Chiar tidak menyukainya tetapi ia tidak ingin membahasnya.
Dengan kikuk Luman dan Chiar berjalan keluar rumah dan langsung disambut oleh angin laut Santorini. Mereka menuruni beberapa tangga untuk dapat berjalan di jalan utama.
Jalan utama itu dipagari oleh pagar batu pendek. Pemandangan di hamparan mereka tidak pernah berhenti membuat Chiar takjub. Lautan biru dan rumah-rumah beratap biru laut di bawah mereka. Kendaraan khususnya vespa mondar-mandir di jalan raya. Chiar mengajak Luman ke spot favoritnya. Mereka menuruni tangga ke pinggir pantai dekat dermaga. Ada beberapa kapal nelayan yang diikatkan di dermaga, tetapi untung saja dermaga di paling ujung kosong sehingga mereka berdua bisa duduk disana dan menikmati angin laut.
“Jadi...” kata Chiar tidak tahu harus berkata apa.
“Aku tidak bermaksud menyakitimu, Chiar,” kata Luman langsung pada pada inti permasalahan mereka. Selalu to the point, kenang Chiar pahit. Ya, tentu saja ia masih mengingat semua kebiasaan Luman, bagaimana tidak. Setiap detiknya di Santorini hanya diisi dengan memikirkan kenangannya dengan Luman dan perjuangan untuk membunuh kenangan itu sendiri. Hidupnya terlalu kontradiktif.
“Aku enggak mengerti...” kata Chiar berusaha mengerti Luman, hal yang mulai ia alami ketika ia mengakui perasaannya pada Luman.
“Ya, kamu mengerti. Let’s face it! Aku enggak bisa membalas cinta kamu,” kata Luman tiba-tiba menatap Chiar dingin.
Chiar membalas tatapan Luman dengan rasa sakit tak tertahankan sehingga ia hanya bisa menatapi lelaki itu sebelum akhirnya ia bisa mengutarakan pertanyaan di otaknya.
“Tapi kenapa? Kenapa enggak bisa? Apa kamu masih mencintai Erdhita? Atau Ivy? Apa kamu mencintainya sekarang? Kenapa enggak bisa sama aku?”
“Karna aku enggak bisa...” kata Luman berdiri dan berjalan menjauhi Chair. Chiar ikut berdiri dan menarik tangan Luman. Ia ingin mengerti apa yang kurang dalam dirinya sehingga Chiar tidak bisa mencintainya.
“Tunggu, bikin aku mengerti!” kata Chiar menarik tangan Luman dan membuat lelaki itu menatapnya.
“Karena aku enggak mencintai kamu!” bentak Luman membuat Chiar lemas dan melepaskan genggamannya.
Chiar terdiam, ia ingin sekali menangis histeris. Rasa sakitnya terlalu berlebihan. Berarti selama ini kata hatinya berbohong. Berarti selama ini memang benar Luman tidak mencintainya.
“Chiar, aku enggak mau nyakitin kamu...” Luman menatap Chiar khawatir.
Chiar tertawa pahit, “Jadi ternyata kata hatiku menipuku...”
“Aku...”
“Kenapa aku sangat yakin kamu mencintaiku? Kenapa? Kasih tau aku kenapa bisa?” bisik Chiar menahan air matanya, ia tidak ingin menangis di depan Luman. Ia ingin memeluk sisa dari harga dirinya yang sudah hancur berantakan.
“Berhentilah mencintaiku, Chiar...” balas Luman pelan sebelum lelaki itu pergi meninggalkannya.
Chiar hanya bisa menatap punggung Luman sebelum ia bertanya keras, “Apa ini karena Ivy? Do you love Ivy?”
Luman tidak berbalik namun ia menjawab, “Itu adalah pertanyaan retoris, Chiar. Aku tidak mungkin tidak mencintai kekasihku sendiri...”
“Tatap mata aku dan bilang kamu mencintainya,” kata Chiar.
“Aku tidak ingin menyakitimu lebih dari ini,” balas Luman masih tidak berbalik.
Chiar berlari dan berdiri di depan Luman, “Pengecut! Sakiti aku sekarang! Matikan harapanku! Kalau kamu mau aku berhenti mencintaimu then make me! Ayo, kamu harus mematahkan hatiku sekarang supaya aku membencimu! Aku juga tidak pernah memilih untuk mencintaimu Luman! For God’s sake you were my brother and here I am loving you more than that! Sekarang... just make me stop loving you.”
“ I can’t...” kata Luman tegas.
“Kalau begitu, bagaimana sama aku? Gimana sama hatiku?” kata Chiar pelan sambil menatap Luman sedih sebelum berbalik untuk meninggalkan lelaki itu terpaku.
Luman menatap punggung Chiar nanar, ia menggeram. Ia mengutuki dirinya sendiri, sebab ia tidak pernah melihat rasa sakit yang begitu dalam seperti yang barusan ia lihat di mata Chiar.

A/N: Potongan lain dari Neattera Kingdom, novel that I have been working on for years now. Cross finger that this novel will be finished soon!

Tuesday, May 7, 2013

The Dark Room

You tell all the boys no makes you feel good yeah?
I know you're out of my league but that won't scare me way out no.
You've carried on so long

You couldn't stop if you tried it

You've built your wall so high

That no one could climb it but I'm gonna try.
Would you let me see beneath your beautiful
Would you let me see beneath your perfect
Take it off now girl...” - Labrinth

Samar-samar terdengar bunyi sirene polisi di kejauhan, kota besar ini memang tidak pernah tidur. Kebisingan dihiasi dengan hiruk pikuk orang marah-marah dengan makian kotor atau pekik klakson mobil membahana. Keributan tidak membiarkan mereka yang lelah bekerja seharian untuk tidur tenang.

Di sebuah kamar motel murah yang sempit, seorang perempuan duduk menatap layar laptop. Di bibirnya ada rokok dan tangannya menggengam bir kalengan. Perempuan itu duduk tegak, tipikal orang tak kenal lelah bekerja. Jari-jarinya menari di atas jurnal hitam tebal tapi sudah butut, ia hanya berhenti ketika menenggak bir beralkohol rendah dari kalengnya.

Sudah lewat tengah malam, tapi ia tidak mengantuk. Banyak yang harus ia tuliskan. Pengalaman yang tidak pernah bisa ia utarakan lewat bibir hitamnya. Ya, bibir hitam upah dari merokok berbungkus-bungkus Marlboro merah.

++++

Cuaca di Hong Kong hari itu cukup cerah, angin musim semi menerpa wajah Beyba. Ia merapatkan jaket panjang yang melapisi kaos putih tipis dan skinny jeans rombeng. Jalanan tampak padat seperti biasanya, di pinggir jalan banyak orang India menawarkan motel atau alat transportasi. Beberapa malah menggoda Beyba, tetapi wanita itu berjalan tanpa henti menuju Victoria Bay. Sendirian. Kesendirianlah yang ia butuhkan hari ini dan seminggu ke depan.

Duduk di pagar menghadap ke arah Hong Kong Island memang cukup mengobati setiap luka yang ia berusaha obati. Sambil menatap kapal-kapal kecil berseliweran, ia mengeluarkan note dan pensil dari saku jaketnya. Pensil itu mulai menari di atas kertas kecil note sampai dua jam berikutnya. Tangannya sedikit pegal, tapi ia tidak peduli. Sudah lama ia berhenti peduli.

++++

“Aku selingkuh, kamu tau itu kan?”
“Yeah, sudah yang ke tiga belas kalinya bukan?”
“Kenapa kamu enggak marah?”
“Mungkin karena aku sudah berhenti merasakan apapun.”
“Kenapa kamu enggak cemburu? Kamu enggak sayang sama aku?”
“Aku cinta sama kamu, tapi aku sudah berhenti peduli.”
“Jadi kamu mau kita putus atau lanjut?”
“Aku mau kita lanjut.”
“Apa yang mau dilanjutin dari hubungan yang sudah rusak kaya begini?”
“Cinta kita.”
“Aku enggak cinta sama kamu…”
“Ah…itu baru hal baru.”
“Beyba…”
“Sudahlah, kita hanya punya beberapa bulan lagi sebelum kita pisah. Benar-benar pisah. Jadi kenapa enggak manfaatin waktu aja.”
“Manfaatin waktu untuk apa?”
“Untuk saling memanfaatkan satu sama lain.”
“….”
“Aku memanfaatkan kamu karena hanya kamu yang bisa bikin aku bahagia dan merasa sempurna. Sedangkan kamu memanfaatkan aku untuk selalu menerima kamu kembali.”
“Bagaimana kalau aku sudah tidak ingin kembali?”
“Hmm…satu lagi hal baru. Tapi, bukannya kamu tau kalau aku selalu punya cara untuk membuat kamu kembali?”
“Well, kamu aneh, Beyba.”
“Nah, yang itu aku sudah sering mendengarnya. Baiklah, nanti malam kita dinner bareng. Jemput aku jam 7 dan tolong segera putusin selingkuhan kamu. Aku tidak suka bersaing terlalu lama. I love you.”

Dengan satu kecupan ringan di pipi, Beyba melangkah pergi meninggalkan Cavi.

++++

“Beyba, hari ini hari wisuda kamu. Kamu mau kemana?”
“Bu, aku mau pergi. Aku udah beli tiket dan kebetulan tiketnya siang ini. Aku enggak bisa ikutan wisuda.”
“Apa? Kamu gila apa?”
“Aku enggak gila, buktinya ijazah ku sudah ada. Buat apa acara wisudaan? Lagian panas pake toga.”
“Kamu tuh Beyba, ngomong sembarangan aja. Tidak, Ibu enggak akan ijinin kamu pergi. Kamu harus wisuda dulu.”
“Telat Bu, Beyba pergi. Salam buat pak dekan!”
“Beyba!”

++++

Beyba berhenti menulis ketika matahari sore sudah menyilaukan matanya. Mengangkat kepalanya ragu, pandangannya disambut oleh hamparan biru laut yang membatasi Hong Kong dan Kowloon. Ia selalu menyukai Hong Kong. Kota miniature New York tetapi sedikit lebih ramah. Dibangun dengan keuletan bangsa China, dengan Inggris sebagai panutannya. Beyba selalu suka Hong Kong.

Hong Kong dimana segala sesuatunya berawal. Hatinya masih sakit mengingat perpisahan pedihnya dengan Cavi. Bohong kalau Beyba tidak pernah mencintai Cavi, Cavi adalah hidupnya. Mereka sudah saling mengenal sejak pertama kali kuliah, Beyba mencintai Cavi. Tapi, ternyata umur cinta terlalu pendek di hubungan mereka. Tidak, bukan untuk mereka, tetapi untuk Cavi.

Pertama kali Cavi berselingkuh, Beyba merasa jantungnya dicabik dan rasa sakitnya terlalu perih untuk diceritakan. Kedua kalinya, Beyba meninggalkan Cavi tetapi pada akhirnya mereka selalu menemukan jalan untuk tetap bersama. Setelah ketiga kali dan seterusnya Beyba tidak lagi merasakan apapun. Semua orang menghakimi ia adalah perempuan bodoh. Yeah, mungkin, perempuan bodoh yang terlalu cinta. Cinta bernafaskan obsesi. Lagipula Beyba selalu tahu kalau Cavi tidak akan pergi terlalu jauh. Jadi, untuk apa Beyba repot-repot meninggalkan Cavi ketika ia sendiri mulai lelah berlari.

Rasa sakit dan rasa sempurna adalah rasa hubungannya dengan Cavi. Sakit, ya. Tapi, Cavi juga melengkapi Beyba. Rasa lengkap yang tidak bisa diberikan oleh rumahnya.

“Bodoh…” maki Beyba pada dirinya sendiri ketika ia mengizinkan sebentuk kenangan masa lalu menghantui dirinya.

Ditenggaknya habis bir kalengan dan ia menyalakan sebatang rokok, ia harus segera mengusir semua rasanya sebelum pulang.

++++

“Sepertinya aku pernah liat kamu,” suara barritone ringan itu membuat Beyba mendongak dari buku Lonely Planet yang sedang asyik ia baca. Ia tidak ingin merusak solo trip nya ke Hong Kong kali ini. Ia suka kota ini, little New York di Asia.
“Ya? Siapa ya?” tanya Beyba mengamati cowok dengan rambut berombak dan kilatan jenaka di matanya. Ia cukup good looking tapi sama sekali bukan tipe Beyba. Cowok itu mengenakan celana jeans belel dengan kaos John Mayer. Nice point! Ia suka John Mayer, penyanyi folks kesukaan Beyba. Beyba kembali menatap cowok itu penasaran, apa maunya cowok itu dengannya.
“Kamu kalo ga salah namanya, Leyla?” cowok itu mengambil tempat duduk disamping Beyba tanpa diundang.
“Beyba maksudnya?”
“Oiya Beyba, maaf...” kata cowok itu merona. Wait what, cowok ini bisa merona. Beyba harus mengakui kalau cowok itu terlihat sangat cute ketika merona.
“Dan kamu, err siapa?” Beyba merasa punya kewajiban untuk menanyakan pertanyaan yang sama. Walau sebenarnya ia tidak begitu peduli.
“Aku Cavi!” dengan semangat cowok itu menyodorkan tangannya pada Beyba. Dijabatnya tangan Cavi dengan enggan oleh Beyba.
“Ha-halo...” kata Beyba clueless.
“Kamu mau ke Hong Kong?” Cavi melirik Lonely Planet bertuliskan Hong Kong di pangkuan Beyba.
“Yep, seems like it. Kamu mau traveling kemana?”
“Hong Kong juga,” kata Cavi sumringah, membuat Beyba bingung. Mengapa cowok di hadapannya seperti remaja ceria. Selalu tersenyum dan riang. Benar-benar bukan tipe nya.
“Oh...” kata Beyba mengangat bahu sekilas, tidak begitu tertarik. Ini adalah solo trip pertamanya tanpa Ibu nya protektif. Ia ingin benar-benar menikmati kebebasannya.
“Aku punya tawaran ke kamu,” kata Cavi tiba-tiba.
“Apa?” tanya Beyba tanpa mengalihkan tatapannya dari Lonely Planet yang sedang menarasikan tentang Repulse Bay.
“Kalo kita randomly ketemu di Hong Kong berarti kita jodoh dan kita akan berkencan di kota cantik itu! Gimana?”

Beyba menatap cowok itu seperti ia baru berjalan di atas air. Benar-benar mengejutkan dan impulsive. Sesaat kemudian Beyba tertawa ngakak tanpa manner dan memeluk perutnya yang sakit. Bagaimana tidak? Orang asing yang entah bagaimana sudah mengenalnya tiba-tiba memberikan tawaran aneh seperti itu. Selama ini Beyba tidak begitu peduli dengan cinta-cintaan, ia merasa cinta belum waktunya memasuki hidupnya. Jodoh? Terlalu jauh.

“Kok kamu ketawa?” tanya Cavi tampak serius. Beyba menarik nafas panjang, berusaha menenangkan dirinya dan menatap Cavi dengan tatapan ‘duh’.
“Gini ya Cavi, aku bahkan ga tau kamu dateng darimana, other planet perhaps? Lalu kamu tiba-tiba bilang kamu kenal aku, walaupun ehem... dengan nama yang salah. Then you give me this offer about jodoh and stuff. Just to be clear, I’m in my very first solo trip so I would really like enjoy it without any pressure or whatsoever. Got it?” Beyba menatap tajam cowok di hadapannya.
“Kamu benar-benar seperti yang mereka bilang ya? And by the way, sarcastic point well made.”
“Mereka? Mereka siapa?”
“Bukan siapa-siapa. Well, the challenge is mine then, Beyba. We will meet randomly in Hong Kong, Beyba. To prove that we’re mean to be.”
Dan sekarang cowok itu benar-benar mengganggu Beyba. “Stalker much?”
“Well, stalker don’t rely on random situation. I’ll see you...”

Dengan kata-kata itu Cavi pergi meninggalkan Beyba yang masih bingung di kursi ruang tunggu bandara. Ia masih bengong dengan kejadian barusan. Benar-benar tak terduga. Akhirnya ia cepat-cepat mengusir Cavi dari pikirannya dan kembali memusatkan dirinya pada bukunya. Hong Kong terlalu besar untuk memberikan situasi acak yang diharapkan Cavi.

++++

“Bey, jadi kapan lo mau pulang dari tempat persembunyian lo? Cavi nyaris gila Bey,” terdengar cerewetan comel Ana, sahabatnya. Ia kangen Ana, tapi ia lebih suka tempat persembunyiannya yang sekarang.
“Cavi? Masih hidup aja tuh orang,” kata Beyba cengengesan.
“Hah?”
“Bilang aja ama dia untuk move on, Na. Gw lagi stuck. Sama dia. Lagi.”
“Bey...”
“Stop stop stop, gw tau lo mau ngomong apa. Gw tau lo mau nguliahin apa, tapi please gw lagi gamau dikuliahin. Udah enek 4 tahun dikuliahin sama kampus,” Beyba cengengesan lagi.
“Serius deh Bey, lo harus pulang. Nyokap lo nanyain lo terus tuh, lo gila kali ya?”
“Gw waras kok, gw pasti pulang. Tapi gw harus siap.”
“Tapi, Cavi?”
“Cavi akan baik-baik aja, gw juga. Lo juga. Nyokap juga. See you, Na!”

Klik.

Begitu ia meletakan telepon, Beyba melipat lututnya. Ia kesepian, lalu nama Cavi. Ia tidak ingin mendengar nama itu lagi.

++++

Jadi beginilah Hong Kong, kepadatan dimana-mana, ribuan pasang kaki berjalan cepat menabrak-nabrak Beyba yang terbiasa berjalan lambat. Ia merasa seperti dikejar-kejar keramaian orang yang bergerak seperti robot. Padahal ia masih ingin bermalasan di jalan, menikmati setiap pemandangan baru.

Kakinya berhenti begitu tanda lampu merah untuk pejalan kaki menghadangnya. Ia menatap ke seberang, ramai sekali. Berkhayal sedikit tentang hal random khas otak uniknya; bagaimana jadinya kalau semua orang berjalan berbarengan dalam satu dimensi lurus dan mereka bertabrakan dengan kecepatan tinggi di tengah jalan. Pasti akan ada efek domino dan mereka akan menerima pelajaran berharga untuk sedikit bersabar. Melambat. Entah kenapa pikiran konyol itu membuat Beyba cekikikan sendiri sampai membuat beberapa orang di depannya melihatnya bingung. Beyba hanya mengangkat bahu tak peduli.

Lampu merah berubah menjadi hijau terang di tengah mendungnya musim semi. Beyba merapatkan jaketnya sambil melangkah mantap menyebrangi perempatan ramai Mongkok. Daerah paling heap di Hong Kong. Ia terpaksa berjalan cepat mengikuti arus manusia serba terburu-buru sebelum tangannya ditarik dari arah berlawanan. Dan disanalah si stalker itu berdiri, Cavi.

“Gotcha!” kata Cavi tersenyum lebar.
“Kok bisa?”
Tut tut tut... lampu sebentar lagi berubah menjadi merah, cepat-cepat Cavi menarik Beyba berlari ke sisi seberang.
“Hai, Beyba!” sapa Cavi begitu mereka tiba di depan pertokoan. Beyba menghentakan tangannya lepas dari genggaman Cavi. Dasar stalker gila.
“Sumpah lo tuh creepy banget, lo beneran stalker ya? Penculik lo! Gw tuh mau nyebrang kesana, bukan ke arah sini,” Beyba cemberut karena harus kembali ke sisi tempat ia menunggu lampu hijau.
Cavi hanya tersenyum lebar menanggapi muntahan kemarahan Beyba. Seperti yang sudah Cavi duga, Beyba adalah cewek galak dan berkarakter. Ya, berkarakater, matanya memang tidak pernah salah.
“Kita harus nge-date sekarang. Kamu mau kopi?”
“Hah?” Beyba termangu melihat cowok di hadapannya, bisa-bisanya dia dengan santai mengundang Beyba minum kopi. Belum Beyba menyemprot Cavi lagi, ribuan tetesan hujan mulai mengguyur mereka.
‘Tuh kan! Pas banget hujan! Ayo!” Cavi menarik Beyba berlari menembus hujan musim semi, hujan yang mengawali kisah mereka. Kisah yang berfondasikan situasi acak dan bergantungkan takdir.

Hujan, secangkir kopi, dan seorang cowok asing yang menaklukan si cewek galak pada akhirnya.

++++

“I can show you the world, shining shimmering splendid... tell me princess now when did you last let your heart decide?”

Beyba mengerutkan keningnya bingung melihat taman bermain di depannya dengan lagu bertemakan Disney yang berkumandang megah. Bisa-bisanya ia membiarkan orang asing gila satu itu mengajaknya ke Disneyland. Padahal ia ingin bersantai di Kowloon Park, sekedar menikmati sinar matahari dan angin musim semi. Melamun menatapi air mancur, flaminggo berkeliaran, atau melamun di kebun mawar tersembunyi. Wisata Hong Kong bebas biaya tetapi tetap menyenangkan.

“Heh cowok aneh, kenapa bisa kita kemari sih? Mau ngapain?” tanya Beyba bete. Tidak mengerti lagi juntrungan cowok aneh dihadapannya yang tampak kegirangan melihat ornamen disney.
“Loh kamu ga suka Disney?”
“Ga,” kata Beyba cemberut.
“Kenapa? Kan Disney selalu ngingetin kita sama masa kecil. Nyenengin loh!” kata Cavi berbinar.
“Well Cavi, tidak semua orang punya masa kecil yang ingin dikenang,” kata Beyba suram.
Cavi menghampiri Beyba dan menggenggam tangannya, ia masih tersenyum.
“Ya udah, kalau gitu aku akan buatin kamu kenangan baru tentang Disney. Kenangan tentang kita! Ayo!”
“Hah?” tanya Beyba bingung sekaligus terpana dengan apa yang baru saja ia dengar.
“AYO!” seru Cavi tersenyum lebar sambil menarik Cavi, mau tidak mau Beyba ikut tersenyum. Kebahagiaan Cavi menular cepat dan menguasai setiap sel tubuh Beyba—ia pun ikut bahagia.

Dan mereka pun membuat sebuah kenangan, kenangan yang tidak pernah terhapus...

++++

Beyba melangkahkan kakinya keluar dari pesawat dan langsung merasakan gigitan matahari Jakarta. Ia meringis sedikit dengan perbedaan cuaca antara Hong Kong dengan Indonesia, tetapi ia tidak mengeluh. Pelariannya sudah membuatnya mampu menghadapi hal yang ia hindari.

Sambil menunggu di belt bagasi ia mengeluarkan sebuah kartu berwarna merah jambu dengan ukiran emas. Ia menatapi kartu itu sejenak sebelum mengecek jam, berharap ia masih sempat menunaikan tugasnya. Kartu itu kemudian ia masukan kembali ke dalam ranselnya ketika ia melihat tas hitam familiar di hadapannya. Dengan tanggap Beyba mengambil koper kecilnya dan berjalan menghadapi takdirnya.

++++

Beyba melihat punggungnya menghadap ke balkon apartemennya, dengan hati-hati Beyba meletakan kopernya di dekat pintu masuk. Berjalan menuju ke arahnya, Beyba tertangkap basah oleh Cavi yang berbalik. Mata cowok itu melebar menatap gadis yang sedang menghampirinya.

“Hai,” sapa Beyba pelan. Menahan setiap luapan emosi yang mengalir dalam darahnya. Ia sudah berjanji kepada dirinya untuk mematikan setiap emosi dan ia tidak berencana untuk mematahkan janjinya sendiri.
Cavi menghampiri Beyba dan berdiri di hadapannya. Ia tidak menyentuh Beyba, hanya menatapinya. Raut wajahnya lega, tetapi keningnya mengerut begitu melihat bibir hitam Beyba.
“Kamu merokok lagi,” kata Cavi.
“Aku selalu merokok dan well, berencana berhenti setelah ini,” Beyba mengangkat bahunya tidak peduli.
“Kita harus bicara, Bey—“
“Bukan, bukan kita, tapi aku. Kamu sudah cukup bicara, kini dengarkan aku baik-baik karena aku enggak akan pernah mengulangi kata-kata ini.”
Beyba menatap Cavi tepat di matanya, sebelum menghembuskan nafas untuk mengatur luapan kata-kata tertahan di mulutnya.
“Cavi, aku cinta kamu. Sangat cinta sampai aku terobsesi. Obsesi yang membuat kita berdua sama-sama menderita. Obsesi yang membuat aku tidak melihat kalau kamu tidak bahagia. Obsesi yang membuat aku mengikatmu dan kamu justru semakin sulit dijangkau...”
“Beyba...” Cavi menangkup wajah Beyba.
“Ini pengkhianatan terakhir kamu, Cavi. Ini harga diri terakhirku memaafkanmu untuk meninggalkanmu,” bisik Beyba.
“Aku minta maaf untuk semua luka yang aku sebabkan untuk kamu...”
“Luka itu udah jadi bekas Vi, sejak aku menerima ini,” Beyba mendorong Cavi sambil memberikan kartu pink di tangannya.
“A-aku, dia—“
“Aku mengerti,” Beyba membalikan badannya mengambil koper dan bersiap keluar dari apartemen Cavi.
“Bey, Meila hamil tapi kamu tau aku cinta sama kamu—“
“Well, kalau begitu itu hukuman kamu Cavi!” kata Beyba tajam. “Hukuman kamu atas pengkhianatanmu. Lucu, aku begitu mencintaimu dan bersedia menerimamu kembali sekarang. Tapi, see? Takdir itu membenci kita. Ia membenci wanita lemah seperti aku dan pria brengsek seperti kamu. Hukumanku adalah ditinggalkan. Hukumanmu adalah tidak bisa memilikiku karena kesalahan kamu sendiri. Kita impas.”

Cavi meraih Beyba, dan seperti yang Beyba bilang, ia lemah. Ia terlalu lemah bila menghadapi Cavi--ia    bahkan tidak bisa melepaskan diri dari pelukan Cavi. Cavi menempelkan dahinya di ke dahi Beyba, lelaki itu memejamkan matanya.

“I have tried, and tried, and tried to climb your goddamn high and thick wall. Aku mengemis untuk mendapatkan sedikit emosi dari kamu, Beyba. Tapi pada akhirnya aku berhasil, berhasil meruntuhkan dinding itu justru ketika aku meninggalkan kamu demi orang lain,” ujar Cavi lirih.

Beyba memejamkan matanya, inilah saat yang tepat agar ia berhenti. Menyampaikan sesuatu yang tak pernah tersampaikan.

“I loved you Cavi, but now you are no longer my love. You have become my inspiration, my muse, the reason why my hand's still dancing in her note. Too bad most people never been together with their muse...and apparently I am one of them. Goodbye.” 

Beyba meraih kepala Cavi dan mengecup keningnya sebelum meninggalkan lelaki itu.

Beyba melangkah pergi, meninggalkan Cavi yang termangu menatapi punggungnya. Ia lega. Ceritanya menemui yang pahit. Tidak, tidak pahit—buktinya ia tersenyum penuh kemenangan. Semua yang tak tersampaikan kini tak lagi rahasia dalam ruang gelap hatinya. Dan mungkin hati Cavi...

Kini Cavi sudah tertinggal di belakangnya, tinggal satu masalah lagi yang harus dia selesaikan.

++++

Bunyi suara mobil yang begitu familiar membuat Beyba merapikan meja ruang makan dan juga rambutnya, dengan manis ia duduk di ujung meja. Berbagai jenis makanan telah di atur di meja makan dengan rapi. Hatinya ketar-ketir, ia menggigit bibirnya. Khawatir dan takut.

Klik. Bunyi suara pintu rumahnya terbuka.

Tak lama kemudian seorang wanita setengah baya yang sudah lama diabaikan oleh Beyba memasuki ruangan dengan wajah penuh tanda tanya. Wanita itu terkejut melihat anak sematawayangnya duduk, mengenakan gaun yang anggun, rambutnya disisir rapi, dan ada sapuhan make up yang mempercantik wajah manis Beyba.

“Beyba...”
“Selamat datang Bu, aku udah siapin makan malam buat Ibu. Ibu mau kan makan bareng-bareng sama aku?” tanya Beyba gemetar, ia takut menghadapi reaksi ibunya.

Ibu Beyba hanya menatapi anaknya, tidak tahu harus berkata apa. Beliau terlalu terkejut dengan sikap manis Beyba.

“Kamu sudah pulang?”
“Iya...”

Ibunya kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Beyba, suasana hening menyelimuti mereka sebelum akhirnya Beyba menyodorkan sebuah amplop cokelat kepada Ibunya.

“Apa ini, Bey?” tanya ibunya bingung.

Beyba hanya terdia ketika ibunya pun mengambil amplop tersebut. Dibuka dan dibacanya isi amplop itu, beberapa detik kemudian beliau menahan napas dan menatap Beyba, terbelalak.

“Aku diterima jadi legal officer perusahaan favorit ibu, aku akan menggunakan ilmu ku dengan baik seperti yang ibu mau. Mulai sekarang aku yang akan bekerja. Sudah saatnya ibu menjadi ibu rumah tangga kebanyakan, bukan wanita karir yang membanting tulang demi menghidupi aku. Aku sudah tidak perlu dibiayai, sekarang aku yang akan menyokong Ibu. Aku butuh seorang Ibu, bukan penyalur dana. Sudah terlalu lama ibu menjadi tulang punggung. Semenjak papa ninggalin kita dan itu sudah sepuluh tauh yang lalu, kini udah saatnya aku yang menjadi tulang punggung. Oke?”
“Bey...”
“Udah, ayo kita makan Bu, nanti makanannya dingin,” kata Beyba tersenyum hangat ke ibunya. Senyuman yang sudah bertahun-tahun ia tidak berikan kepada ibunya.

Beyba menuangkan nasi ke piring ibunya lalu berkata, “Ibu mau brokoli atau—“

Tangan Beyba berhenti ketika ibunya memeluk Beyba erat kemudian menciumi anaknya penuh sayang. Beyba terdiam kaku sebelum akhirnya ia bersandar pada ibunya. Ia berada di tempat yang seharusnya. Dan ia sangat bahagia, kebahagiaan yang lengkap.

++++

Debur ombak mengiringi ayunan kaki Beyba di pinggir dermaga. Sebentar lagi sore, tapi pena nya tidak juga bergerak. Ia tidak bisa menulis, tidak bisa lagi. Kertasnya kosong,.

Beyba menghela nafas berat sebelum berdiri dan berjalan pergi, membelakangi matahari terbenam. Matahari yang tenggelam bersama dengan jurnal dan pena kesayangannya.

Ia baru saja meninggalkan inspirasi nya. Membuka lembaran baru dan menunggu kapan waktu memanggilnya untuk bisa menulis lagi. Tidak ada yang tahu, Beyba juga tidak tahu. Namun ia tidak peduli, ia adalah seorang penulis. Setiap penulis tahu inspirasi bisa datang kapan saja dan dimana saja. Suatu haru inspirasi itu pasti juga akan menemukannya. Beyba yakin itu.

Hidupnya terlalu irasional untuk memahami sesuatu yang rasional. Dan Beyba suka itu...

~The End~


A/N: I know this one is (a bit) dark . This baby is unusual for me, but I have to write it. I don't know why. I hope you enjoy it, people. And thanks to Ruriana, I have finally found the right song for this one.