Monday, March 11, 2013

Happiest Day


I’ll be waiting for you here inside my heart
I’m the one who wants to love you more
You will see I can give you everything you need
Let me be the one to love you more…

                        To Love You More, David Foster

Kutatapi bayanganku di cermin, tubuhku dibalut dengan gaun putih berpotongan anggun. Ada sebuah pita kecil berwarna ungu Lavender di sekeliling pinggangku, pita itu mempermanis gaun putih berbahan sifon yang aku kenakan. Riasan minimalis kusapuh tipis dan sederhana di wajahku, tidak perlu terlalu tebal karena bukan aku pusat perhatiannya malam ini.

Kunaikkan sedikit dagu ku, kuarahkan tatapanku lurus ke cermin, lalu aku tersenyum. Saat ini aku sedang berlatih tersenyum, ya berlatih tersenyum untuk hari ini. Hari ini adalah hari bahagia. Semua orang pasti selalu ingin menampilkan senyum terbaik mereka di setiap hari bahagia, bukan? Hal itu juga terjadi padaku, aku ingin tersenyum dengan kebahagiaan hari ini. Walau ketika aku mengintip melalui tirai putih di kamarku, aku bisa melihat kalau langit sedikit mendung. Tampaknya akan hujan. Semoga saja tidak karena halaman belakang rumah ini sudah disulap sedemikian rupa agar tampak indah untuk menyambut tamu-tamu yang akan datang tidak lama lagi.

Suasana hari ini benar-benar sakral, aku sedikit gugup memikirkan hal itu. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah besar tempat aku menginap beberapa waktu sampai acara ini selesai. Kuhela nafas panjang, segera kukenakan sepatu putihku dan keluar dari kamar. Kutelusuri lorong rumah yang panjang dan berkarpet abu-abu ini, rumah ini terasa sangat asing namun juga menenangkan. Aku pasti tidak akan pernah melupakan tempat ini sampai kapanpun.

“Charsa?” suara itu menghentikan langkahku.

Aku berbalik dan disanalah ia berdiri, mengenakan tuksedo berwarna putih yang memamerkan tubuh tegap mempesonanya. Wajahnya bersih dari facial hair, padahal sejauh yang kuketahui dia tidak begitu suka bercukur. Tetapi, tentu saja hari ini ia bercukur. Bagaimana tidak? Hari ini adalah pengecualian dan mustahil ia diizinkan untuk tampil urakan di hari se-istimewa ini.

“Loh kok kamu belom pake dasi?” tanyaku baru menyadari kalau tuksedo nya belum lengkap.

Well, that’s the problem. Kamu tau kan aku enggak bisa pake dasi,” katanya dengan wajah polos yang sudah kukenal cukup lama.

“Hahaha. Dasar!” kataku tertawa pelan sambil menghampirinya.

“Bisa tolongin aku enggak?” tanyanya sambil memasuki kamarnya memberi gesture untuk mengikutinya.

Kamarnya luas bernuansa putih dan abu-abu. Aku bisa mencium wangi parfum yang biasa ia pakai bercampur dengan wangi alami tubuhnya yang sangat maskulin. Tempat tidurnya besar dan serba putih, sayang tertutup dengan banyak peralatan ini-itu. Kusadari bahwa walaupun kami hanya menginap beberapa hari disini tetapi aku merasa kalau hal itu tidak bisa menghalangi karakternya. Kamarnya tetap berantakan seperti kamar pribadi di apartemennya sendiri. Kini aku hanya berharap karakternya tidak akan pernah hilang sampai kapanpun, termasuk ketika hari ini telah lewat.

“Mana dasinya?” kataku bingung melihat begitu banyaknya barang bertebaran.

Ia pasti bisa membaca tatapanku sehingga ia tersenyum seperti orang tertangkap basah karena kamarnya yang kacau balau. Ia berjalan ke arah lemari dan meraih dasi sutra putih dari gantungan. Diserahkannya dasi itu padaku dan kuambil lalu kukalungkan dasi itu di leher kokohnya.

Aku mencari posisi dasi paling ideal, tanganku sibuk membuat simpul dasi yang tepat dan rapi tetapi aku bisa merasakan tatapan matanya padaku.

“Menurut kamu, aku lagi melakukan kesalahan ga, Sa?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaannya menghentikan kesibukanku dan kutatap mata hitam legamnya dengan penuh tanya. Tanpa bersuara kuminta ia untuk menjelaskan maksudnya lebih lanjut dan ia pun meneruskan pernyataan menggantungnya.

“Menurut kamu apa yang aku lakukan hari ini bener ga? Bagaimana kalau hari ini adalah kesalahan? Bagaimana kalau ternyata hal ini cuma bisa bertahan sebentar?”
Aku tersenyum sambil melanjutkan kesibukanku memakaikan dasinya.

“Kenapa kamu bisa berpikir kaya begitu?” tanyaku santai.

“Enggak tau…” jawabnya pelan.

Kuhela nafasku setelah aku menyelesaikan simpul dasinya dan kembali fokus padanya—kepada mata legamnya yang kini tampak seperti orang tersesat.

Do you love her?” tanyaku padanya.

“Yes…” jawabnya.

Does she love you?”

Yes…

Then what’s the problem?”

“Aku merasa kalau cinta itu enggak cukup.”

Kakiku melangkah menjauhinya dan membawaku ke jendela besar yang ditutup oleh gordyn putih transparan. Dari jendela lebar itu aku bisa melihat orang sedang lalu lalang di halaman belakang. Otakku berputar mencari jawaban bijaksana dan tepat untuk semua pertanyaannya.

“Cinta selalu dianggap tidak akan pernah cukup memang, tapi aku selalu percaya kalau cinta adalah fondasi. Menurutku tidak ada yang pernah cukup di dunia ini. Segala sesuatu harus terus berkembang karena waktu tidak akan pernah menunggu kita, begitu juga dengan kehidupan. Tetapi setiap hal butuh fondasi, setinggi atau sebesar apapun perkembangan akan percuma kalau fondasinya enggak kuat. Aku selalu percaya kalau cinta itu cukup, ya cinta adalah cinta dan cinta itu cukup sebagai fondasi.”

Kami berdua terdiam sebelum akhirnya aku mengajukan pertanyaan lagi kepadanya.

“Satu hal, kenapa kamu bisa sampai di tahap ini? Di hari ini? Apa alasan kamu sampai kamu bisa ada di posisi ini?”

Well, karena aku cinta dan aku merasa kalau hal itu perlu dipastikan dengan melakukan segala sesuatunya dengan benar. Seperti keberadaanku disini sekarang adalah bagian dari kepastian itu,” jawabnya. Aku bisa merasakan ia berdiri tak jauh di belakangku.

“Terkadang kita harus bisa membedakan antara cinta dan keinginan untuk memiliki. Cinta itu cukup sedangkan keinginan untuk memiliki selalu menginginkan lebih,” kataku tertawa pelan dan terdengar getir. “Pertama kamu hanya ingin memiliki hatinya, kemudian berkembang dengan ingin menjadikannya sebagai pacar, istri atau suami. Tak cukup dengan itu, kamu ingin memiliki anak darinya, dan begitu seterusnya sampai kalian berdua tua dan meninggal pada akhirnya. Cinta itu sederhana, sedangkan keinginan memiliki terlalu banyak menuntut. Kita harus bisa membedakan itu.”

Aku berbalik menatapnya, wajahnya tertunduk sedih. Rasa bersalah menggelitikku sedikit karena kesedihan yang kutimbulkan di hatinya hari ini—hey, hari ini adalah hari bahagia. Aku bahkan sudah banyak menghabiskan waktuku akhir-akhir ini dengan terus berlatih tersenyum demi hari bahagia ini. Hal itu kulakukan agar dapat terlihat sebahagia mungkin hari ini. Sebab, aku tidak ingin merasakan rasa yang tidak sejalan dengan suasana hari ini—suasana bahagia.
Apalagi dia. Dia harus bahagia hari ini!

Kuhampiri dia dan kusentuh wajahnya dengan lembut.

“Kamu akan baik-baik aja…” kataku tersenyum, tulus kali ini.

“Gimana kamu bisa tahu?” tanyanya.

“Karena aku sangat mengetahui dan memahami kalau hal inilah yang bisa membuatmu bahagia.”

“Kenapa kamu bisa seyakin itu, Sa?” tanyannya lagi.

Kuturunkan tanganku dari wajahnya dan menjawab, “Karena hatiku berkata begitu…”

Ia terdiam sebentar sebelum menatapku dengan senyum manisnya. Ia menarikku ke dalam pelukannya dan tubuh kokohnya melingkupiku dengan sangat erat. Kupejamkan mata, mencoba memberinya segala yang ada padaku dengan harapan aku bisa mengalirkan kekuatan dan keteguhan di hatiku padanya.

“Let’s do this!” katanya setelah melepas pelukannya lalu ia berjalan berjalan keluar dari kamar itu, meninggalkanku.

Kupandangi punggung kokohnya sambil tersenyum. Beberapa saat ketika pintu kamarnya tertutup dan ia menghilang dari pandanganku, kuijinkan setetes air mata mengaliri pipiku. Sejak kemarin aku berusaha untuk mencegah air mataku dan memaksa hatiku untuk mengikis setiap rasa kehilangan. Tetapi setelah melihat punggungnya menjauh aku sadar bahwa aku merasakan elegi itu.

Tak beberapa lama kemudian, samar-samar terdengar orkestra kecil diluar memainkan lagu Canon in D. Dengan cepat aku berjalan ke arah jendela besar ruangan itu. Kubuka sedikit tirainya dan mengintip apa yang terjadi diluar sana. Aku bisa melihat ia sudah berdiri di hadapan sebuah mimbar dari kaca yang dihiasi pita putih. Mimbar kecil itu berada di ujung karpet merah, dibalik mimbar itu ada seorang pendeta berjubah putih yang siap menyelenggarakan upacara sakral itu.

Kulihat seorang wanita bergaun putih panjang dan bercadar berjalan pelan menuju ke arahnya sambil membawa bunga mawar merah jambu di tangannya. Wanita itu berjalan diiringi dengan pengiring pengantinnya. Ketika wanita itu sampai di dekat mimbar, ia meraih tangan wanita itu dan tersenyum penuh cinta.

“Cinta? Cintaku padamu cukup dan aku lah yang mencintaimu lebih dalam sehingga aku harus memastikan kalau hari ini terjadi. Hari kebahagiaanmu harus terselenggara…”

Kuhapus air mataku dan berbalik. Kutatapi kamarnya, mencoba merekam aromanya sebelum akhirnya aku menyerah dan berjalan kembali ke kamarku. Ketika aku sampai di kamarku, perasaan terasing tiba-tiba menyerangku. Ya, hari ini rumah ini terasa sangat asing.

Mungkin, karena tidak ada ‘rumah’ bagiku lagi disini.

Tiba-tiba aku tersadar kalau aku harus berada disana, berada di saat dia bahagia juga. Aku tidak boleh menyaksikan kebahagiaannya dari jauh. Aku harus menjadi salah satu saksi dan bagian dari kebahagiaannya. Kalau aku memang mencintainya, maka aku harus berbahagia bersama-sama dengan dia.

Aku berlari menuruni tangga menuju halaman belakang. Ketika aku sampai di halaman belakang, aku melihat semua orang dengan khidmat menyaksikan ia mengikrarkan janji nikah dengan begitu manis sambil menatap perempuan itu dengan penuh cinta.

Kutempati sebuah bangku kayu kosong di baris paling belakang tanpa melepaskan tatapanku darinya. Kurekam baik-baik wajah bahagianya.

“Saya nyatakan kalian resmi menjadi pasangan suami istri…”

Ia mengecup kening wanita itu. Dan aku menyaksikannya, menyaksikan kalau ia memang bahagia.

Pelan-pelan ia berjalan bersama dengan wanita yang sekarang adalah istrinya diantara sederetan kursi diiringi dengan sorak-sorai dari tamu undangan. Ia bahagia. Ya, dia bahagia. Aku berdiri, menatapnya mendekat. Ia tersenyum kepadaku dan berhenti tepat di depanku.

Thanks for being the Constance in my life, Charsa…” katanya menggenggam tanganku sebentar sebelum kembali menatap istrinya.

Ini cukup. Aku menatapi kepergiannya, menatap punggung dan gestur bahagianya.

Ya, ini cukup.

Akhirnya aku meninggalkan taman itu dan kembali ke dalam rumah besar asing itu. Di dalamnya para petugas catering sedang hilir mudik mempersiapkan hidangan. Aku pun melewati mereka dengan hati-hati kemudian menaikki tangga mewah menuju ke sederetan pintu di lorong sepi itu.

Tetapi kurasakan ada rasa aneh menjalari hatiku. Rasa ini sangat berbeda dengan yang kurasakan beberapa saat lalu ketika aku membantunya memakai dasi.

Saat ini hatiku tidak hampa lagi, aku bahagia dengan caraku sendiri. Aku bisa berbahagia karena aku mencintainya dengan tulus dan tanpa kesombongan.

Kumasuki pintu kedua di sebelah kiri, tempat yang menjadi kamarku. Kukenakan jaket kulitku. Kemudian segera kusambar koper cokelat serta tas bepergian yang telah kukemasi sejak kemari malam. Aku siap untuk pergi sekarang karena tugasku untuk memastikan kebahagiaannya telah selesai. 

Sebelum aku keluar dari kamar itu, aku sempat menangkap bayanganku di cermin. Untuk terakhir kalinya aku mencoba tersenyum pada bayanganku dan akhirnya aku berhasil.

Ternyata latihan tersenyum untuk hari bahagia ini—well, hari bahagianya—tidak pernah diperlukan karena memang hanya kebahagiannya yang bisa membuatku bahagia.

Pada akhirnya kami berdua sama-sama bahagia walaupun dengan alasan yang berbeda.

Kututup pintu kamar itu dan berjalan pergi meninggalkannya bersama dengan kebahagiaannya sambil menggenggam erat kebahagiaanku sendiri…
~FIN~