Wednesday, June 24, 2009

Just One Day

“Will you be mine even if it’s just for one day?” Tanya Alina menatap teman kecilnya, Levi, kini sedang duduk di depannya.

“What?” Tanya Levi bingung.

“Gue tau hubungan kita lagi enggak enak akhir-akhir ini, tapi sekali ini aja. Would you be mine? Just for one day, one day before I take my plane to Sidney?”

“Alina, gue enggak bisa…” Levi melipat kedua tangannya dan menatap Alina seakan-akan cewek itu gila atau apa.

“Kenapa? Cuma satu hari aja, Lev…cuma satu hari…” terdengar nada memohon di suara Alina.
“Enggak, that’s my final, gue enggak mau nyakitin Amy. Sekarang dia cewek gue dan…”

“Dan cewek yang sama yang nyuruh lo ngejauhin gue?”

“Al, gue kira lo udah setuju tentang ini. Gue kira…”

“Lo kira? Well, it’s okay then. I get it…” Alina menelan balik tangisnya.

“Al…please donk lo ngertiin posisi gue, this girl, gue mau serius sama dia, Al. I just want me and she can be work.”

“And how about me?”

“How-how..what do you mean?” Levi semakin bingung.

“How about me?” bisik Alina pelan, memelas.

“You’re my best friend and…”

“How long you’ve known me?”

“Okay, kita mulai lagi dengan masalah yang sama. Ini bukan masalah waktu, ini masalah perasaan!”

“Dan gimana sama perasaan gue?” Tak terasa air mata Alina sudah membasahi pipinya.

“A-apa?”

“Never mind,” Alina bangkit dari tempat duduknya. “Pesawat gue jam sembilan malem lusa gue harap kita bisa ketemu sebelum gue pergi tapi itu juga kalo lo enggak lagi sibuk sama cewek seminggu lo itu!”

Alina meninggalkan Levi disana.

Gimana sama perasaan gue? Gimana? Mau dikemanain…oya, dibuang. Iya, perasaan enggak berujung kaya begini emang harusnya dibuang jauh-jauh.

****

“Besok hari terakhir gue di Indo, lo dateng ke rumah enggak? Ada farewell party kecil-kecilan di rumah. Call me when you’ve turned on your fucking phone and have some fucking time for me!”

Klik.


****

Malam Farewell…

Mata Alina menelusuri seisi rumahnya yang dipadati oleh teman-teman dan kerabatnya tapi ia tetap tidak menemukan orang dia cari. Ia berkeliling rumah, ke teras depan, dapur, living room, lantai atas, taman belakang, tapi tidak menemukannya di satu tempatpun. Ia juga sudah lelah menelpon sahabat kecilnya. Alina pun menghampi mamanya Levi yang juga diundang datang ke acara farewell Alina karena keluarga mereka sangat dekat, namanya juga tetanggaan dari lama.

“Halo Sayang,” kata Tante Kezia mencium kedua belah pipi Alina.

“Makasih udah sempet dateng ya Tante,” Alina tersenyum pada Tante Kezia, “Levi mana, Tante?”

“Mmmm…tadi sih bilangnya mau nganterin cewek nya shopping, Tante aja sampe heran kenapa dia enggak dateng. Atau dia enggak tau ya? Soalnya seharian ini dia belom pulang ke rumah.”

“Hah? Aku udah telpon dia kok supaya dateng.”

“Oh gitu ya? Duh tuh anak…”

“Enggak apa-apa kok, Tante…”

Alina terhenyak dan menggelengkan kepalanya. Moodnya sudah hilang, ia malas berada di sana—di tengah keramaian dan memutuskan end up duduk sendirian di kamarnya, tidak mengikuti sisa farewell party, sibuk menangis.

****

Hari Keberangkatan…

“Kenapa kamu enggak mau dianterin ke bandara sih, Lin?” Tanya Mama pada Alina yang sibuk mengecek ulang barang-barang bawaannya.

“Enggak usah lah Ma, nanti Mama sama Papa pulangnya kemaleman padahal besokan kan harus ngantor, nanti capek loh. Aku enggak apa-apa kok, lagian aku kan juga harus belajar mandiri,” kata Alina sudah siap berangkat.

“Beneran enggak apa-apa, ‘lil Princess?” Tanya Papa membantu Alina membawa kopernya sampai ke teras depan.

“Iya, enggak apa-apa, Daddy! I’ll be okay, thanks for offering anyway,” Alina mengambil kopernya dari tangan Papa lalu mencium Papa dan Mama bergantian. Sebelum masuk ke dalam taksi, Alina sempat mencuri pandang ke arah rumah Levi yang tampak sepi-sepi saja. Hatinya sakit. Bahkan sampai di saat terakhir pun Levi tidak menghubunginya. Tidak mengucapkan selamat tinggal. Sebegitu pentingnyakah Amy?

Paling enggak buat dia Amy itu lebih penting dari gue…

Perjalanan menggunakan taksi memberinya semakin banyak space untuk berpikir sendirian. Bukannya ia tidak mau mama dan papa mengantarnya ke bandara tapi ia sedang butuh sendiri meskipuin ia tahu kalau lambat laun ia juga akan benar-benar sendirian bila di Sidney. Memikirkan tentang Levi; Levi teman kecilnya, Levi yang sudah berubah, Levi yang bukan miliknya lagi…Levi… Alina mengalihkan pandangannya ke jendela samping, cahaya lampu yang sangat terang menyorotnya tajam, sepersekian detik berikutnya…

JEGERRRRR!!!!

Goodbye, Levi…I love you…

****

Seandainya aku punya waktu untuk mengalunkan satu kata
Namamu lah yang akan kuucapkan

Seandainya Tuhan memberiku waktu sedikit lebih panjang untuk merangkai satu kalimat
Maka aku akan berkata kalau akau mencintaimu

Seandainya waktu mengulur alurnya untukku lebih panang lagi
Maka aku akan berlari ke pelukanmu

Tetapi waktu tidak diperpanjang untukku
Tetapi waktu tidak akan berbalik arah
Tetapi waktu terlalu terburu-buru dengan alurnya untuk menungguku
Itulah sebabnya aku hanya bisa menatap wajahmu di benakku…

****

Tengah Malam, Rumah Sakit…

Nit…nit…nit…

Alunan bunyi alat pendeteksi detak jantung mengiringi tidur panjang Alina yang dipenuhi mimpi buram, tidak sadarkan diri. Paling tidak dalam keadaan ini ia tidak perlu merasakan sakit dan perihnya memar-memar di sekujur tubuhnya ditambah satu memar terparah di kepalanya. Memar akibat benturan keras yang mengharuskan ia tertidur koma. Tangannya pun tidak bisa merasakan kehangatan yang she-will-die for untuk merasakananya. Kehangatan genggaman tangan Levi.

Beberapa saat kemudian yang terdengar bukan hanya bunyi pendeteksi detak jantung tapi juga isakan dalam seorang cowok. Isakan Levi…

“Maafin gue, Lin…” entah sudah berapa kali ia mengulang-ulang kalimat itu sejak pertama kali ia duduk disana menatap Alina terbaring.

****

Hari-hari belakangan ini pathetic buat Levi. Ia berusaha sekuat tenaga untuk bisa membangunkan teman kecilnya dari tidur panjang. Hari-hari penuh penyesalan tak berujung; permintaan Alina yang tidak ia penuhi cuma karna ia tidak mau, pesan suara Alina yang tidak ia gubris karna ia terlalu takut. Takut menghadapi sisi lain dirinya. Sisi dirinya yang mencintai Alina sementara ia sudah punya Amy. Ia ingin hubungannya dengan Amy berhasil, sungguh, namun ia tahu kalau ada sisi lain dalam dirinya berteriak keras untuk minta diakui dan dipertanggungjawabkan; perasaanya pada Alina. Ia menutupi perasaan itu bukan hanya dari Alina bahkan juga dari dirinya sendiri. Pada kenyataannya toh sekarang ia tetap memilih berada di samping Alina walau Amy sudah cemberut dan mengancam putus. Ia tidak peduli. Screw it!

Hari ini Levi memilih untuk membelikan sebuah CD yang sudah lama diinginkan oleh Alina. CD nya Switchfoot. Levi memasuki salah satu toko kaset di daerah Pondok Indah, toko kaset terdekat dengan RS tempat Alina terbaring. Ia langsung mendatangi counter genre rock mencari album terbaru Switchfoot dan mengambilnya begitu menemukannya. Langkahnya ke arah kasir terhenti ketika ia melihat seorang cowok merangkul mesra seorang cewek.

Plak! CD Switchfoot yang ada di tangannya jatuh.

“Amy…”

Amy menatap Levi dan segera melepaskan diri dari rangkulan cowok bergaya eksmud disampingnya.

“Levi, aku…”

“Save it!”

Levi mengambil CD itu, membayarnya tanpa mengantri lalu berjalan cepat meninggalkan toko kaset itu.

Gue enggak percaya kalo gue ninggalin Alina cuma karna cewek kaya gitu! Lin, entah berapa lama waktu yang gue butuhin untuk ngebayar semua kesalahan gue sama lo…Maafin gue, Lin. I really am a jerky ass, the most evil bastard…

****

Sebelum kembali ke RS, Levi menyempatkan diri mampir ke rumahnya untuk mengambil CD player. Ketika ia turun dari mobil, Yemima, adik perempuan Alina menghampirinya sambil membawa sebuah buku yang Levi ketahui sebagai buku mereka berdua—dirinya dan Alina. Buku itu kini dimonopoli oleh Alina karena semenjak SMA Levi menganggap nulis-nulis di notebook itu girly banget. Akhirnya buku itu jadi milik Alina dan terlarang buat Levi. Entah apa isinya, Levi benar-benar clueless.

“Kenapa, Mima?” Tanya Levi.

“Ini buku Kak Lin,” kata Yemima memberikan buku itu pada Levi.

“Kenapa kasih ke gue, Ma?” Levi mengambil buku itu sambil menatapnya dengan kerutan di kening, bingung.

“Siapa tau berguna Kak…”

“Oh iya..thanks…”

Levi berbalik dan berjalan ke kamarnya. Ia duduk di tempat tidurnya dan membuka buku merah itu. Secarik kertas putih bertuliskan tulisan tangan Alina jatuh ke lantai. Levi memungut kertas itu dan membacanya…

I wish I was The Universe's Owner
So I could claim every creature in it
But I’m not, so I can’t claim every creature including you…

I wish I was The Hand of Life
So I could manage every life in the world like I wanted
But I’m not, that’s why I can’t manage to make you mine…

I wish I was Fate
So I could make everyone’s fate
But I’m not, that’s why destiny never allows us to be together…

I wish I was The Time Machine
So I could turn back time
But I’m not, that’s why I couldn’t repeat our memories and repair my mistake that made me lose you…


I wish I was The Watchmen
So I could watch what every single human does now
But I’m not, that’s why I can’t see you…

I wish I was The Mind Reader
So I could read everyone’s thoughts
But I’m not, that’s why I never know what you want and what you’re thinking about me…

I wish I was a Psychologist
So I could read everyone’s eyes
But I’m not, that’s why I’m blind and never know what your eyes are trying to say…

I wish I was a Comedian
So I could make everyone laugh
But I’m not, that’s why you never laugh with me…

I wish I was a Dream Maker
So I could make everyone dream while they’re sleeping
But I’m not, that’s why I can never be part of your dream…

I wish I was Cupid
So I could make everyone in love with each other
But I’m not, that’s why there’s no Cupid arrow between us…

I wish I was a Star
So everyone would be in awe because of my light when they saw me at night
But I’m not, that’s why you never saw me…

I wish I was the Princess in Disney’s stories
So I could have Prince Charming and live happily ever after
But I'm not, and you, my Prince Charming, are not with me that’s why we are not live happily ever after...

I wish I was Amnesia’s Patient
So I could forget every memory that I have
But I’m not, that’s why I can never forget anything about you…

I wish I was other people
So I would never know you and fall so deep like this
But I'm not, that's why I've insanely-entirely-deeply-absolutely fallen hard for you like this...

I’m not…

And I never will be those personalities…

But I wish…

Even I wish I was the one that you love
But I’m not…
That’s why you’re not with me now…

I love you, Lev…
Alina

Levi tertunduk. Ia marah sekali pada dirinya. Ia tidak cukup baik untuk Alina. Ia brengsek!

Levi menonjok tembok kamarnya berkali-kali, tidak peduli dengan tangannya yang berlumuran darah. Ia marah. Ia murka pada dirinya sendiri—dirinya sendiri yang bahkan tidak seberani Alina untuk mengakui perasaanya. Ia marah pada ego nya! Ia marah! Ia pengecut! Ia brengsek! He does not deserve her; he’s not good enough and will never good enough for her… Levi jatuh terduduk di lantai dengan kepala tertunduk. Air matanya, isaknya, tidak tertahan dan seakan percuma. Ia benci dirinya! Ia benci pada takdir. Kenapa harus dia? Kenapa harus Alina? Kenapa??

Gue enggak pantes, Al…

****

Hari-hari berikutnya tetap tidak ada perkembangan. Levi berusaha dengan berbagai cara untuk membangunkan putri tidurnya termasuk dengan menceritakan cerita masa kecil mereka. Ulang tahun ke 7 Alina yang berakhir dengan perang makanan dan acara pun jadi rusak.

“Inget enggak lo Al, pas udah selesai potong kue, lo ngasih potongan kue pertama lo buat gue. Terus bukannya gue makan tuh kue malah langsung gue templok ke muka lo sampe dandanan lo yang girly banget itu rusak. Gue kira lo bakal nangis eh ga taunya lo malah ngeraup kue lo terus lo templok balik ke muka gue. Hahahaha…sumpah, itu lucu banget…” Levi berhenti sesaat berusaha menenangkan diri dari tawa sebelum melanjutkan nostalgianya, “ terus abis itu anak-anak langsung ngambil kue lo buat maen lempar-lemparan, jadilah kita dimarah-marahin mama lo dan end up ngebersihin rumah lo berdua ampe malem banget…hahahah…”

Levi terus tertawa tapi entah mengapa di sela tawa air matanya menetes, air mata putus asa. Ia ingin Alina menanggapi ceritanya! Ia ingin Alina tertawa bersamanya! Levi mencium tangan Alina dan membiarkan kecupan lama itu berada disana sementara ia terisak.

“Lo inget enggak, Al? Al?” kata Levi kembali menatap Alina dan berusaha tersenyum dengan air mata yang mengalir. “Al…maafin gue, Al…”

****

Sebenarnya hari-hari ospek mahasiswa baru sudah dimulai, seharusnya Levi harus berada di kampusnya saat ini tapi tentu saja ia tidak mau meninggalkan Alina. Ia tidak peduli. Ia malah duduk di dekat jendela kamar rawat Alina dengan buku merah mereka di tangannya. Tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya. Satu cara yang belum pernah ia coba yaitu memenuhi permintaan Alina. Permintaan yang ia tolak mentah-mentah…

“Will you be mine even if it’s just for one day?”

Levi mulai menulis di buku merah itu. Berharap ia bisa menciptakan mantra yang bisa membebaskan sang putri dan membangunkannya. Mantra yang lebih dari sekedar kecupan. Ia hanya bisa berharap…

****

Genap satu bulan Alina terbaring di RS, tanpa adanya perubahan berarti. Terbaring begitu saja dengan tarikan napas kemudian diikuti helaan. Satu bulan itu juga Levi terus menunggui Alina, bolos kuliah sudah hampir 2 minggu. Hanya saja, hari ini berbeda…ya, ia berharap hari ini akan berbeda. Levi membaringkan kepalanya di samping kepala Alina, mendekatkan bibirnya ke telinga cewek itu dengan buku merah di tangannya.

“Today, I would like to tell you something, please hear me even if you’re in your deepest sleep right now. Hear me…

For me you’re The Universe’s Owner
So you can claim every single creature including me

For me you’re The Hand of Life
So you can manage my life as yours

For me you’re The Fate
So you could make destiny allows us together

For me you’re The Time’s Machine
But—for your information, you don’t need to turn back time and return to our memories because we’ll make our new memory in future

For me you’re The Watchmen
I can fix it and you can—will see me every time you want me to show up in front of you

For me you’re The Mind Reader
You always read out my mind, but you’re never realize it

For me you’re The Psychology
You don’t have to read my eyes because I’ll tell you what my heart is trying to say

For me you’re The Comedian
You always make me laugh and you’re the reason that I laugh

For me you’re The Dream Maker
Because I don’t know how can you always enter all my dreams every night?

For me you’re The Cupid
Ouch Al, your arrow hit me so hard! It’s terribly hurt but I wish the arrow will stay there between us

For me you’re a Star
But you know that I’m not just ‘see’ you and that’s it…I’m staring at you in every chance I’ve got. Appearently I’m not awe but amaze.

For me you’re Disney’s Princess
I’m proudly be your Prince Charming and we will live happily ever after
My Princess Aurora, please wake up from your dream…I’ll guarantee that we’ll live happily ever after

For me this line is the worst
I never want you to be the Amnesia’s Patient
Please, don’t forget every single thing about me—about us

Don’t be other people…

Don’t ever wish to be other personalities because of me…

You don’t have to wish to be the one that I love because you’re the one that I love…
That’s why I’m right here with you…
And I’ve insanely-entirely-deeply-absolutely fallen hard for you…

Wake up, Lin…”

Levi memeluk Alina, ia bisa merasakan air mata Alina di pipinya. Levi menatap Alina berharap cewek itu telah membuka matanya, tapi sia-sia. Alina menangis dalam pejaman matanya.

****

“Lev…”

“Hmm?” Levi tetap menatap langit sore dari atas atap rumah Alina—tempat favorit mereka berdua—sambil mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Alina.

“Gue seneng kita masuk SMA yang sama. Terus abis itu ngadepin masa depan bareng, walau enggak selamanya bareng juga sih. Soalnya gue kan bakal ngejar scholarship di Aussie dan lo ngejar PTN yang lo mau. Tapi gue udah ngebayangin, setelah lulus nanti there’s a guy whom has these guts to ask me marrying him in Sidney’s Opera House while he has his own concert…”

“Bilang aja lo mau dilamar sama Jon Foreman disana!” kata Levi nyengir.

“Kira-kira gitu deh…”

Levi merasa ada slice of jealousy di hatinya tapi langsung dibuang jauh-jauh rasa itu. “So this guy must be an Australian?”

“Mmmm…nope…”

“Tapi lo kan maunya dilamar di SOH…”

“Lev, as long as this who-knows-guy love me like hell just as much as I love him and he has that nerve to ask me to marry him, I don’t care.”

“What do you mean? I can’t understand. Bukannya lo maunya dilamar di SOH?”

“Yup, kalo dia sayang sama gue, walaupun dia bukan orang Aussie bahkan orang Indo sekalipun, dia pasti bela-belain ke SOH buat ngelamar gue! Hahahahh…”

“Matre, udah matre ngerepotin lagi!”

“Yeee…enak aja! Mau-mau gue donk, bukan lo yang ngelamar gue ini!” kata Alina playfully walau sebenarnya ia juga mengetahui respon Levi.

“Gimana kalo gue yang ngelamar?” Levi menatap Alina sambil nyengir.

“And…” Alina menatap mata Levi berusaha menyembunyikan senyumnya, “will you?”

Levi hanya mengangkat kedua bahunya, “Yuk ah balik, udah sore…”

Levi bangkit dari duduknya dan Alina hanya bisa menghela napas sebelum menyusul Levi. Pertanyaan yang tidak pernah dijawab oleh Levi…pertanyaan yang membuat Levi bimbang setengah mati dan ya, diamnya Levi melenyapkan senyum Alina.

****

Besok Levi harus masuk kuliah, tidak ada kompromi lagi walaupun ia sama sekali tidak mau meninggalkan Alina. Ia ingin terus berada di sana sampai Alina membuka matanya. Ia ingin menjadi yang pertama dilihat oleh Alina ketika cewek itu sadar. Jadilah hari ini Levi duduk di samping Alina sambil memetik gitarnya lembut, bernyanyi pelan di dekat jendela sambil menikmati suasana sore. Ia menyanyikan sebuah lagu dengan lembut. Salah satu lagu cheesy milik Switchfoot dan menjadi soundtrack chick lit, A Walk to Remember. Levi sangat ingat kalau Alina lebih suka bila lagu ini dinyanyikan oleh Jon Foreman daripada Mandy Moore. Malahan Alina mengulang lagu ini berkali-kali di playlist mereka jadi mau enggak mau Levi ikutan hafal liriknya sedikit-sedikit walau menurut Levi sih, dua-duanya sama-sama cheesy.

“There's a song that's inside of my soul.
It's the one that I've tried to write over and over again
I'm awake in the infinite cold.
But you sing to me over and over and over again.

So, I lay my head back down.
And I lift my hands and pray
To be only yours, I pray, to be only yours
I know now you're my only hope…”

Lirik lagu ini cocok sekali dengan Levi. Seperti perasaannya pada Alina; sudah ada di jiwanya tapi tidak pernah berhasil ia verbalkan walau sudah berkali-kali Alina mengakui perasaanya out loud untuk Levi, namun Levi seakan sudah tuli dan sekarang ia terbangun justru disaat Alina sedang tertidur. Padahal kini Alina lah satu-satunya harapannya…

“Sing to me the song of the stars.
Of your galaxy dancing and laughing and laughing again.
When it feels like my dreams are so far
Sing to me of the plans that you have for me over again.

So I lay my head back down.
And I lift my hands and pray
To be only yours, I pray, to be only yours
I know now, you're my only hope…”

Levi memetik gitarnya lembut, mengingat-ingat lirik bridge dari lagu ini.

“I give you my destiny.
I'm giving…giving you…err….”

“All of me…”

Suara terdengar pelan dan lemah menghentikan permainan gitar Levi. Levi menatap mata Alina yang kini balas menatapnya. Mata cokelat susu itu menatapnya lembut, membuatnya terdiam, amazed.

“I’m giving you all of me…” bisik Alina lagi.

Pelan-pelan Levi menghampiri Alina, ia tidak membutuhkan kata-kata, yang ia butuhkan saat ini adalah memeluk gadis itu. Alina nya. Alina sahabat kecilnya. Alina kekasihnya. Alina…Alina-nya kembali!

****

Seminggu kemudian, atap rumah Levi…

“Jadi, lusa lo bakal berangkat ke Sidney?” Tanya Levi pada gadis yang ada di rangkulannya, Alina. Kini mereka duduk di spot favorit mereka dengan keadaan yang sudah berbeda. Berbeda karena sekarang mereka sudah an item, berbeda karena Levi sudah berani mengakui perasannya, berbeda karna sekarang mereka saling memiliki.

“Iya Lev, gue kan mesti ngelanjutin kuliah. Untung beasiswa gue enggak dicabut dan gue masih dikasih kesempatan buat ngejar mata kuliah,” kata Alina menikmati hangatnya tubuh Levi, melidunginya dari angin dingin malam hari.

“Ck…I don’t wanna let you go…” kata Levi menenggelamkan wajahnya di rambut panjang Alina, menghirup dalam-dalam wangi rambut gadis itu, Lavender.

“I’m sorry…”

“It’s okay though, it’s not like you won’t come home for me.”

“Will you wait?”

“I’ve been waiting ‘till you wake up, waited you faced the death and I did nothing to help you. But, God gave me one last chance to hold you again. And why won’t I wait for you longer in this beautiful and graceful situation?”

“Thanks…”

Levi mencium kening Alina dan mereka kembali menatap bintang-bintang, walau tidak terlihat jelas karena polusi udara di Jakarta yang tingginya enggak ketulungan.

****

4 years later…

“Jadi lo enggak bisa dateng ke acara graduation gue?” Tanya Alina mengerutkan keningnya, menjepit gagang telpon di bahu karena tangannya sibuk packing. Membereskan semua barang-barang di flat mungilnya di dekat kampus Sidney University—kampusnya.

“Enggak gisa Al, duit gue abis,” jawab suara ngangenin Levi.

“Abis? Yeee…bukannya lo baru beli mobil ya? Kok bisa abis?” Alina menghenyakkan tubuhnya di sofa kesayangannya, menghadap ke arah jendela.

“Ya karna baru beli mobil makanya duitnya abis, iih…yayank gue dodol amat sih! Udah jauh-jauh kuliah di Sidney otaknya tetep aja lola!”

“You’re so death, Levi!” desis Alina.

“Can’t help babe,” terdengar suara tawa ringan Levi, “I miss you…”

“Makanya kemari donk, masih sempet kok, graduation gue kan besok malem.”

“Enggak bisa Sayang, but I’ll make sure that I’ll be the one whom wait you in airport once you step at there, okay?”

“Okay…” ujar Alina masih kecewa.

“Gotta run Babe, ngurusin kerjaan dulu nih. Lo tau kan Ayah itu alot banget kalo masalah kerjaan walaupun gue anaknya. Huh!”

“Yep, salam buat Ayah sama Bunda ya…”

“Bye, love you…”

“Ti amo, il mio amore. Non posso attendere per incontrarlo…” (I love you, my love. Can’t wait to see you…)

“Kumat nih bahasa aliennya,” Levi nyengir geli diseberang sana.

“Makanya liat kamus, Lev.”

“Yang penting gue tau artiny, paling-paling enggak jauh-jauh dari lo sayang sama gue, ya kan? Bye, honey!”

“Eeehh…!”

Klik.
Alina tersenyum. Sebentar lagi ia akan bertemu Levi.

****

Graduation Day…

Alina melangkahkan kaki keluar dari auditorium memakai toga kebesaran sebesar senyum di wajahnya. Lulus juga, Bachelor Degree udah di tangan pula. Life’s good, tapi tetap ada yang kurang. Kurang Levi. Sebenarnya sudah lama mereka membuat rencana supaya Levi bisa menghadiri graduation ceremony Alina, tapi apa daya.

“Selamat ya, Sayang!” kata Mama memeluk putri sulungnya.

“Makasih, Ma!”

“Kak, selamat ya!” kata Yemima.

“Thanks, dear… Papa mana?”

“Di mobil Sayang, kami tunggu ya di hotel,” kata Mama mengecup pipi Alina.

“Okay, won’t be late,” Alina melambaikan goodbye pada Mama dan adiknya beserta Papa yang
datang beberapa saat kemudian mengendarai mobil sewaan.

“Hey Alina, wanna go to SOH today?” Tanya Laura, teman dekat Alina di kampus.

“SOH? I thought we would go to after party?”

“Nope, after party was held ‘till 7 and it still 5.”

“Won’t you go to salon; have some make-up or something, will you?”

“Gosh! No need those stuff, SOH will be great you know. Make some pictures there before our
separation, right?”

“Aww…I’m gonna miss you.”

“Me too…so let us take our leave so we can go back on time to our flat, get ready for the party.”

“Kay…”

Mereka mengendarai mobil Laura untuk sampai ke Sidney Opera House—SOH. Sinar matahari sore menyinari gedung opera bercangkang tiga itu dengan sangat indah, menjadikan SOH sebagai tempat favorit Alina di Australia, selain Kakadu National Park atau Sidney Harbor. Biasanya Alina ke Sidney Harbor untuk naik kapal mengarungi laut sekitar Australia. They’re just perfect apalagi kalau naik kapal malam-malam! Terlihat lampu-lampu gemerlapan dari gedung-gedung tinggi. Namun yang paling mengagumkan adalah lampu-lampu dari SOH. Cangkang-cangkang putih SOH tampak bercahaya putih bersih terutama pada saat full moon, warna putih yang begitu senada. Seperti sekarang ini, menjelang sunset, lebih indah lagi.

Mereka berdua masuk dari pintu utara, menuju langsung ke foyer concert hall. Foyer adalah tempat khusus yang terletak di bagian ujung utara dan selatan gedung, terletak di lantai teratas, yaitu di bagian lancip cangkang SOH. Foyer utara berada di atas Concert Hall yang menghadap ke arah Harbor Bridge, sedangkan foyer selatan berada di atas Drama Theater menghadap ke arah lautan lepas dan kota Sidney. Foyer concert hall adalah foyer terindah. Tangga-tangganya berlapiskan karpet merah, dinding bagian depannya terbuat dari kaca yang menyajikan pemandangan di luarnya; air laut memantulkan cahaya matahari sore dan Harbor Bridge. Bila kita menatap ke bawah maka akan terlihat halaman luar SOH, biasanya disana berdiri tenda-tenda putih. Halaman luar tersebut terletak persis di pinggir pantai.

Ting tong ting tong.

Bel tanda pengumuman berbunyi.

“Attention please, Miss Alina Andreas, we hopping your presence in Concert Hall now. Attention, Miss Alina Andreas, we hopping your presence in Concert Hall now. Thank you.”

Alina menatap Laura, bingung.

“Did she just say my name? Is it possible if there’s another Alina Andreas…” kata Alina mengerutkan keningnya.

“I guess not, why don’t you just find out?” saran Laura mengedikkan bahu.

“Wait here, okay?”

“Will do…”

Alina turun ke bawah dan memasuki concert hall. Concert hall agak-agak gelap dan sepi membuat Alina jadi creepy sendiri. Alina berjalan di space antar platform menuju ke arah stage pelan-pelan karena cahaya yang temaram. Namun, penerangan yang temaram tidak dapat menyembunyikan keindahan interior concert hall. Bangku-bangkunya berwarna coklat kayu muda, letaknya berhimpit satu sama lain. Dinding-dindingnya berwarna cokelat senada. Box-box dan platform-platform mengelilingi stage yang tidak begitu besar tapi cukup menampung sebuah orchestra. Box terletak di sebelah kanan dan kiri panggung, letaknya jauh lebih tinggi daripada stage, sehingga ada pintu masuk khusus yang dibuat di kaki box besar itu untuk menjangkau tempat duduk di atasnya. Ada masing-masing 3 box di sebelah kiri dan kanan stage. Di belakang stage adalah tempat choir ataupun organ. Platform terletak di depan stage, letaknya bertingkat-tingkat. Platform memenuhi bagian tengah concert hall sampai ke belakang. Intinya ruangan concert hall terkesan sempit karena stage yang tidak terlalu besar itu dikelilingi oleh tempat duduk-tempat duduk baik di box atas maupun platform yang ada di bawah—sejajar lantainya dengan panggung.

Langkah Alina terhenti ketika cahaya lampu semakin redup, membiarkan satu lampu sorot menjadi sangat menyolok di tengah panggung. Disana ada seseorang cowok memakai tux duduk di kursi kayu dengan gitar di pangkuannya. Alina membungkam mulutnya dengan kedua tangannya, kaget. Itu Levi.

“Have a seat please, Madam…” ujar Levi tersenyum dari atas panggung.

Alina duduk di platform tengah, agak sedikit jauh dari panggung. Ia sudah tidak bisa melangkahkan kaki lebih jauh lagi sangking terkejut dengan munculnya Levi di SOH, mengenakan tux, di atas stage pula!

“Well, audience, eheemm…just one audience I guess but mean a lot just like thousands…”
Alina tertawa pelan mendengar joke garing Levi, sudah jelas cuma ada mereka berdua disana.

“I would like to present you a song, enjoy, My Love…”

“Such a corny…” gumam Alina tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

Ternyata Alina salah besar. Mereka tidak sendiri. Di belakang Levi ada anggota tim orchestra yang baru terlihat ketika stage mendapat penerangan yang cukup bagi keseluruhan bagiannnya. Alina shock, tidak tahu harus berkata apa lagi selain menatap Levi mulai memetik gitarnya, diiringi dengan orchestra. Alina tahu intro ini, lagunya Jars of Clay, Only Alive… Alina suka lagu ini, sangat suka, her future wedding’s song…

“I'm a fair weather friend
I'm a colorless view but I'm willin' to make a deal
If you think you can make some faith here inside
I'll drive off and marry you

I'm only alive with you
I can't get by and I won't get through
So put me in the river and let me say I do
I'm only alive with you…”

Mata Levi tidak pernah lepas dari mata Alina. Ia tersenyum sambil menyanyikan lagu itu. Suara Levi lembut mengalun di telinga Alina, membahana bukan hanya di seluruh ruang concert hall, tapi juga di hatinya. Itu Levi-nya…

“You're a sight for sore eyes and a newborn cry
In a year where there are so few
If you throw me a line, I'll show you in time
I'm fallin' in love with you

I'm only alive with you
I can't get by and I won't get through
So put me in the river and let me say I do
I'm only alive with you…”

Kenangan-kenangan mereka muncul di benak Alina ketika ia menatap Levi masih tetap tersenyum padanya. Kenangan masa kecil mereka, pahit, manis…dan disana hanya ada mereka—saling memiliki, sampai mereka berdua menyadari ada rasa itu, rasa yang semakin kuat. Alunan orchestra menambah sakralnya saat ini. Moment milik mereka berdua…

“Though my heart has been torn by loves I have worn
And I'm tempted by them ever still
I tremble inside when you walk in the room
You hold my affections at will

I'm only alive with you
I can't get by and I won't get through
So put me in the river and let me say I do
I'm only alive with you…”

Levi selesai bernyanyi, tetapi tidak dengan orchestra. Orchestra itu seakan mengiringi langkah Levi turun dari panggung dan menghampiri Alina di tempat duduknya. Alina tertawa, air mata bahagia mengalir di pipinya, tetap menatap Levi nya. He’s so gorgeous. Levi tersenyum lebar, berlutut di depan Alina sambil menggenggam kedua tangannya.

“Hey…” ujar Levi.

“Hey yourself you silly…” Alina memeluk Levi, “that’s beautiful…”

“Not as beautiful as you…”

“Gombal!” kata Alina melepaskan pelukannya dan memukul bahu Levi playful.

“Well…” tangan Levi keringat dingin, ia nervous.

Alina menunggu apa yang akan dikatakan Levi selanjutnya.

“Alina, gue enggak tahu harus ngomong apa,” kata Levi pilon.

“Heh?” Tanya Alina bingung.

“Duh Al, gue malu!”

“Lev, lo kenapa sih?” Duh Levi kenapa sih, merusak moment romantis aja!

“Ehem..okey…” Levi menghela napas keras, berusaha menyingkirkan nervouse nya.

“Lev?”

“Alguetaukalogueenggakpantesngedapetinlotapilomaugakmarriedsamague?”

“Hah?”

Levi tertunduk, menyembunyikan wajahnya di pangkuan Alina, dia payah. Dia membuang napas pelan.

“Al, lo mau enggak ngebuat lagu ini jadi nyata?” gumam Levi.

Alina tidak tahu harus berkata apa. Levi langsung mengangkat kepalanya agar ia bisa menatap mata Alina, ia agak ketar-ketir karena tidak kunjung ada jawaban.

“Al, gue tau gue aneh, bego, udah nyakitin lo terus, enggak gentle, nyebelin, udah gitu suka moody…”

“Iya…”

“..rese, suka bikin lo nangis, terus…terus WHAT?!”

Mata coklat Levi melting dengan mata Alina.

“Jadi lo…”

Alina menganggukkan kepalanya, eager.

“WEI, GUE DITERIMA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! SHE ACCEPTED MY MARRIAGE PROPOSAL!!!”

Suasana membahana di sekitar mereka. Tepuk tangan dan siulan. Satu lagi kejutan yang membuktikan kalau mereka tidak sendirian. Ada keluarga Alina dan Levi disana, ada teman-teman Alina juga termasuk Laura.

“Lev?” Tanya Alina amazing melihat sekelilingnya, “Lo udah ngerencanain ini jauh-jauh hari ya? Pake ngelibatin Laura juga!”

Levi hanya mengangkat bahu dan tersenyum sangat tulus, “Gue enggak mau kita bahagia sendiri, Al…”

“I love you, I really do!” kata Alina tidak tahu harus berkata apa lagi pada cowok yang ada di depannya itu.

Alina loncat ke pelukan Levi berharap tidak akan pernah melepaskan cowok ini lagi. Walau kata-kata lamaran Levi jauh dari romantis, walau ia sudah tahu semuanya tentang Levi baik kelemahan maupun kekurangan, baginya Levi tetaplah penuh kejutan indah. A gift from God…

“Mine…”

Kata Levi sebelum mengecup bibir Alina lembut. Life’s been perfect…