Thursday, November 3, 2011

Saving The Oldest Dance

I haven’t seen you in ages
Sometimes I find myself wondering where you are
For me you are always be 18 and beautiful…
And dancing away with my heart…

Dancing Away with My Heart by Lady Antebellum
-------------------------------------------------------------------------------------------------

“It’s been a while…” kataku dan sebuah senyuman terbentuk dari bibir tipis bergaris tegasnya yang selalu kuingat sepanjang hidup 24 tahunku. Bibir hangat sama yang mengecupku malam itu, malam perpisahan sekolah kami dulu. Ia masih seperti yang kuingat, wajah tirus berahang tegas dengan hidung mancung bangir, matanya tajam berwarna cokelat muda dengan rambut hitam legam. Ia bertambah tampan seiring dengan berjalannya waktu dan tubuhnya semakin jangkung. Aku ingat benar bagaimana rasanya bersandar di bahu kokohnya dan menghirup wangi tubuh maskulinnya, aku tidak akan pernah melupakan hari itu—hari pertama kami berbicara sekaligus hari terakhir kami bertemu. Ya, kami berdansa dibawah kerlipan lampu cokelat klasik di salah satu taman restaurant yang disewa sekolah kami untuk malam perpisahan. Aku selalu ingat saat itu…

“Iya, sudah berapa lama? Tujuh tahun kah?” jawabnya sambil menatapku dibalik kaca matanya. Ia tampak sangat professional hari ini dengan setelan bisnis bernuansa hitam—ya, dia sangat menyukai warna hitam. Seperti malam itu ketika ia mengenakan tuksedo hitam, tampak sangat cemerlang seperti seorang pangeran. Entah mengapa pangeran itu menghampiriku lalu kami berdansa semalaman setelahnya. Padahal aku adalah si gadis geek fotografer koran sekolah, aku bukan siapa-siapa sedangkan dia adalah seseorang. Bagaimana tidak? Ia tampan, pintar dan kapten sepakbola sekolah kami. Gadis mana yang tidak memujanya? Tetapi, ia memintaku berdansa dengannya dan tidak ada gadis lain bergelayut di lengannya. Akulah satu-satunya gadis beruntung yang memilikinya malam itu.

“Ya, aku rasa juga sudah selama itu,” kataku menyesap pelan cokelat vanilla dari cangkir kecil dalam genggamanku, berharap cairan hangat itu bisa menenangkan gejolak sistem syarafku.

“Ini kebetulan yang menyenangkan, Ahava. Kemarin siang aku diberitahu oleh sekretarisku kalau ada majalah bisnis ingin mewawancaraiku hari ini dan disinilah kita berada sekarang,” ia tersenyum separuh. Senyum separuh yang selalu membuat nafasku tercekat dan tersenyum juga karena mengingat kalau dengan senyuman itu juga ia mencuri ciuman pertamaku.

“Sebenarnya aku juga tidak yakin kalau kamu adalah orang yang akan aku wawancarai hari ini. Aku mengira akan ada orang lain dengan nama sama yang akan menungguku disini,” jawabku tenang.

“Ternyata kamu tidak mengenalku dengan baik, Ahava…” ujarnya datar sambil menatapku dengan tatapan playful mematikan.

“Kamu enggak pernah memberiku kesempatan untuk itu,” kataku tidak bisa menahan diriku.

Kami berpisah setelah pesta dansa malam itu. Ia tidak menghubungiku setelahnya dan aku juga tidak punya cukup keberanian untuk menghubunginya. Malam itu bagaikan dongeng dan seperti kebanyakan dongeng, waktunya sangat singkat dengan alur cerita pendek. Sayangnya, dongengku tidak berakhir bahagia. Pangeranku pergi ke negeri antah-berantah tanpa membawaku serta. Aku pernah berpikir mungkin aku bukan bagian dari cerita dongeng yang sesungguhnya, mungkin aku bukan tokoh putri utama dalam dongeng tersebut. Aku hanyalah bumbu pengawal dongeng itu, sama seperti Oddete dalam cerita Swan Lake. Seorang putri angsa dengan nasib tragis.

“Aku melakukannya demi kebaikan kita berdua, Ahava.”

“Tidak ada kebaikan ataupun keburukan di antara kita. Kita tidak pernah sampai pada kesimpulan apapun, sadarkah kamu akan hal itu?”

“Iya. Aku tahu kalau aku berhutang banyak padamu bahkan semenjak pertama kali aku bertemu denganmu. Hutangku dimulai pada detik itu, detik dimana kita bertemu untuk pertama kalinya.”

Aku menatapnya bingung, tidak mengerti maksud dari kata-katanya dan tanpa aku sadari aku menyuarakan rasa penasaranku. Ia menjawabnya dengan senyuman—lagi-lagi senyuman itu, aku mulai membenci sekaligus memuja senyuman itu.

“Bukankah tujuan kita bertemu disini untuk wawancara bisnis, Ahava?” tanyanya ringan, dengan halus mengalihkan topic pembicaraan kami.

Aku melengos pelan dan tiba-tiba teringat akan kewajibanku disini, mewawancarai pengusaha muda dan sukses dihadapanku. Sebuah pena, alat perekam, dan buku kecil kususun rapi di meja—aku sudah siap mewawancarainya. Dari ekor mataku, aku bisa melihat ia tersenyum geli melihat kerepotanku membereskan peralatan ‘tempur’-ku. Aku memilih untuk mengabaikan cengiran itu dan fokus pada daftar pertanyaan yang telah disusun. Kubaca dengan cepat daftar pertanyaan dan merona malu begitu melihat pertanyaan ‘titipan’ Tina—rekan kantorku. Belum menanyakannya saja perutku sudah seperti dijungkirbalik.

Aku berdeham pelan untuk menyingkirkan perasaan canggung itu dan memulai wawancaraku.

“Well, nama?” tanyaku tersenyum kecil.

“Kau lebih tahu daripadaku, Ahava…”

Aku memutar bola mataku merasa aneh dengan pertanyaan yang baru kuajukan. “Status?”

Kali ini gilirannya tersenyum menggoda, “Singel?”

“Kamu tampak ragu,” ujarku menanggapi.

“Penasaran, Ahava?”

Aku mengerang pelan, tidak berniat untuk meneruskan kebodohan ini. “Kamu kan yang minta aku untuk professional, remember?”

“Aku sangat mengingatnya, Ahava,” nada suaranya menyiratkan hal lain tapi aku buru-buru mengabaikan perasaan itu.

“Well, next question…”

Tanya jawab ringan dan professional itu berlangsung cukup cepat dan efisien mengingat jam kerjaku yang ketat dan begitu pula dengan jam kerjanya. Pertanyaan-pertanyaanku standard dan berkaitan dengan profilnya yang akan menghiasi rubric profil di majalah bisnis tempatku bekerja minggu depan. Aku sangat yakin kalau aku akan mengambil salah satu hasil cetakannya dan membacanya berulang-ulang—atau mungkin lebih tepatnya memandaing fotonya seperti remaja sinting jatuh cinta.

“Apakah itu sudah semuanya?” tanyanya menatapku menutup buku kecilku.

“Kurasa, ya…” jawabku agak kecewa sambil memasukkan buku, pulpen serta voice recorder ke dalam tas ku. Ternyata waktunya memang terlalu singkat.

“Apakah ini saatnya kita berpisah?” tanyanya lagi dan membuatku menatapnya.

“Ya…” kataku pelan langsung mengalihkan tatapanku ke tampat lain. Aku tidak ingin ia membaca kekecewaanku.

“Apakah kita harus mengucapkan selamat tinggal kali ini?”

“A-aku…”

“Aku sudah membayar hutang tiga tahun-ku padamu, Ahava.”

“Tiga tahun? Aku enggak ngerti,” kataku makin bingung.

“Aku berhutang karena selama tiga tahun di sekolah aku tidak pernah punya keberanian untuk bicara padamu, mengenalmu, menggenggam tanganmu, mengecupmu, tetapi aku sudah membayarnya malam itu.”

Aku terdiam, menginginkan ia berbicara lebih jauh, memberi penjelasan lebih dalam.

“Malam itu akhirnya aku menendang keras diriku yang pengecut dan mengajakmu berdansa. Menatapmu dari dekat—sangat dekat dan menggenggam tanganmu, menjadi sandaranmu walau hanya sesaat dan mengecupmu ketika malam berakhir. Aku sudah membayar hutangku saat itu, Ahava.

“Maafkan atas kekurang ajaran dan keegoisanku malam itu. Padahal aku tau kalau aku tidak bisa memberimu lebih daripada itu.”

“Apa karna aku tidak pantas?” tanyaku pelan.

“Kau lebih dari pantas, kau sangat sempurna. Aku tidak berhak memiliki kesempurnaanmu saat itu, Ahava. Lagipula sehari setelah prom aku harus langsung berangkat ke New York dan aku tidak mau kau memberimu kewajiban untuk menungguku.”

“Tahukah kamu kalau kamu telah merenggut pilihan yang sebenarnya kumiliki?”

Ia terdiam dan menatap mataku tajam.

“Kamu seharusnya memberiku pilihan saat itu. Mungkin aku memang ingin menunggumu…”

Dia tersenyum miris. “Ahava, kamu terlalu naïf. Cinta tidak semudah itu dan kita masih sangat muda saat itu.”

Aku mengembuskan nafas pelan, tertawa kecil karena kenaifanku mempercayai cinta sejauh itu. “Ya, kamu benar. Baiklah kalau begitu, terima kasih atas waktumu hari ini.”

Kursiku berderit sedikit ketika aku bangkit dan menyodorkan tanganku padanya. Ia menyambut tanganku dan menggenggamnya erat sambil ikut bangkit. Ia sangat tinggi dan menawan, tubuh indahnya menjulang dihadapanku. Bila aku tidak ingat betapa lembut kepribadiannya, mungkin aku sudah merasa terintimidasi oleh kharismanya.

“Bertekad meninggalkanku begitu cepat sekarang, Ahava?”

“Kamu terlalu membingungkan hari ini. Dengar, aku sibuk dan kamu juga sibuk bisakah kita berbicara lebih to the point?”

“Mulai saat ini aku akan mencicil pembayaran hutangku padamu.”

“Haruskah kita terus berkutat dengan perumpamaan? Gosh! Kamu baru saja bilang kalau hutangmu sudah lunas dan FYI aku sama sekali tidak cukup kaya untuk memberi hutang padamu.”

“Ya, aku masih berhutang dan berencana untuk melunasinya…”

“Hah?”

“Well, aku kira kamu bilang kalau kita sama-sama sibuk dan aku baru ingat kalau aku ada meeting setengah jam lagi. Drive safely, Ahava…”

Ia melepaskan genggaman tangannya dan mengusap pipiku lembut sebelum berjalan keluar dari lounge. Dan begitulah ia, seorang pangeran tanpa kekang yang meninggalkanku untuk kedua kalinya…

Aku bergeming sesaat sebelum kembali tersadar dari anganku tentangnya. Aku tersenyum kecil menyadari betapa masih naïf nya aku, berharap ia akan tergugah ketika kami akhirnya bertemu lagi dan menyelesaikan yang tak terselesaikan tapi ternyata pesta dansa itu adalah penyelesaian terakhir.

Langkah kakiku membawaku keluar dari lounge dan pusat perkantoran mewah itu dan tak lama setelah itu scooter matic ku sudah turut ambil bagian dalam kemacetan kota. Otakku kembali dipenuhi deadline yang harus segera kupenuhi dan angan tentangnya pun terhapus dari pikiranku.

****
Pagi itu aku berjalan di lobby kantor dengan gontai, masih mengantuk akibat mengerjakan deadline artikel semalaman. Hari ini aku harus mulai menyusun profilnya sehingga kemarin malam aku harus mengerjakan deadline artikel lain agar bisa fokus dengan artikel profilnya. Aku merasa terkutuk sekaligus bersyukur karena kebagian menulis profil tentangnya.

“Good morning, Va!” ujar Tina kelewat bahagia melihat kedatanganku, rekan kerjaku yang satu itu memang terlalu ceria bahkan di pagi hari seperti sekarang.

“Pagi, Tina,” ujarku tidak bersemangat. “I need coffee…”

“Honey, I don’t think you will need any energy booster this morning,” kata Tina tersenyum penuh arti padaku.

“You look compromising,” tanggapku curiga.

“Have a very lovely day, lucky bitch!” Tina ngeloyor pergi dan aku hanya bisa geleng kepala melihat kelakuan gadis imut bertubuh gempal itu kembali ke meja nya. Tina adalah bagian team creative pengemas halaman dan cover. Otaknya terlalu kreatif sehingga ia kemarin menyuruhku menanyakan statusnya apakah ia masih lajang atau tidak. Ya, begitulah Tina dan sayangnya aku tidak bisa berkata tidak padanya.

Dengan malas-malasan kuseret diriku ke mejaku. Meja sempit tetapi nyaman dan penuh inspirasi. Sebuah rangkaian bunga lily dan lavender tergeletak di mejaku disertai dengan kartu putih. Pelan-pelan aku meletakkan tas kerjaku di kursi dan meraih bunga itu. Kubaca kartunya berulang-ulang dan mengusap goresan tinta hitam itu dengan ujung jariku…

Dear my beautiful dancing partner…

Aku masih punya banyak hutang padamu. Hutang saat aku pergi kuliah ke New York dan hutangku untuk tahun-tahun setelahnya. Aku berencana membayarnya beserta dengan bunga-nya. Sebagai ekonom, aku menghitung hutangku beserta bunga nya dengan teliti dan ternyata hasilnya adalah ‘selamanya’. Aku tidak tahu apakah selamanya cukup bagimu untuk membayar segala hutangku.

Maukah kau berhitung denganku sore ini di sebuah toko kue kecil di sudut jalan Kota? Toko kue yang menjual kiwi cheese cake kesukaanmu. Aku hanya ingin memastikan hasil perhitunganku akurat agar aku tidak melewatkan satu detik pun hutang waktuku padamu.

Almer