Monday, June 23, 2014

I need a Muse

Before you read it, I want you to know the story behind this post. Actually, this is the last inspiration and hand writing that I wrote before I lost my muse. The first thought that came to my mind when I read and compare it with the latest writing of mine is "holy crap I am so screwed."

Yes, you have ruined me big time, dude!

However, I promise that I will try my damn hardest to reach this point again. Someday... 

Enjoy...

=====

Charsa menatapi lelaki jangkung yang kini duduk di hadapannya. Di tangannya terdapat dua cincin pernikahan berwarna emas, cincin yang sedari tadi Charsa tatap dengan nanar. Tenggorokannya tercekat, ia tidak bisa mundur lagi.
“Aku tidak bisa menunggu selamanya, Wisnu...”
“Bila aku jadi kamu, aku tidak akan pernah mengucapkan kata selamanya. Itu akan memenjarakan kamu dengan mudah,” jawab lelaki itu tidak menatap Charsa, tatapannya masih terpaku pada dua cincin pernikahan di tangannya.
“Seperti kata itu telah memenjarakan kamu?” bisik Charsa pelan.
Wisnu menatap Charsa tajam. Membisu. Tidak berkata apa-apa lagi.

++++

Dua tahun yang lalu...

“Charsa! Telpon dari Wisnu!”
Jantung Charsa serasa berhenti mendengar nama itu kembali disebut. Sudah lama sekali ia menghapus nama itu dari hidupnya, tetapi tentu ia gagal menghapus namanya dari hati dan otak pemberontaknya. Sepuluh tahun yang lalu mereka masih berteman dengan baik, terlalu baik sampai Charsa jatuh cinta. Jatuh cinta diam-diam. Tidak terdengar, bahkan oleh sahabat baiknya sendiri, Wisnu.
“I-iya...” Charsa meninggalkan novelnya. Harusnya hari itu menjadi hari Sabtu tenang untuk membaca novel, tetapi dengung nama Wisnu mengacaukan segalanya sekarang.
Dengan gerakan lambat Charsa mengangkat gagang telepon dan menyapa masa kecilnya, “Halo...”
“Charsa?”
“Iya, Wisnu,” kata Charsa berharap suaranya tidak selemah dirinya sekarang.
“Kamu besok ada waktu? Bisa temani aku ke suatu tempat besok?” suara Wisnu tampak mendesak.
“Memangnya kamu mau kemana?”
“Kamu akan tahu, tapi sekarang yang harus kamu tahu adalah aku butuh kamu disana. Aku mohon, Sha?”
Charsa terdiam sebentar, ternyata 5 tahun waktu berjalan tidak melindungi hatinya dari sahabat kecilnya, cinta pertamanya. “Baik...”
“Sampai ketemu besok, Charsa...”
Klik.
Suara bunyi telepon seperti pemicu jutaan kenangan merasuk dalam dirinya.

++++

Tujuh Tahun lalu...

“Aku akan menikahi Aira, menurut kamu?” tanya Wisnu sambil memakan biskuitnya.
Pernyataan Wisnu menghentikan tangan Charsa diudara. Keripik kentangnya berhenti sebelum dikunyah. Hambar. Mulut Charsa yang tiba-tiba mengering mendengar berita itu. Harusnya hari Minggu mereka yang selalu diisi dengan kegaduhan Playstation 1, tidak terusik dengan kabar ini. Pekerjaan gila mereka seharusnya terlupakan sekarang tetapi begitu mendengar pernyataan bernada kasual Wisnu, Charsa berharap hari Senin datang dan dia diizinkan kabur dari dunia sosial. Ya, kesibukan bisa menyelematkannya.
“Menurut aku? Kurasa aku tidak punya andil apapun untuk keputusan satu itu.”
“Loh kenapa enggak? Kamu kan sahabat aku. Menurut kamu Aira the one buat aku?” Wisnu meletakan stick PS nya dan berpaling pada Charsa. Menunggu jawaban.
“Aira bikin kamu bahagia?”
“Iya...”
“Dia mengerti kamu?”
“Sangat...”
“Dia membuat kamu tenang?”
“Dia itu kesyahduan yang udah lama aku cari...”
Charsa meringis pelan mendengar pernyataan itu. Hatinya terasa carut –marut oleh banyak goresan tipis dan dalam. Namun, toh dia sudah master untuk poker face ketika Wisnu selalu berparade dengan gadis-gadis lain. Apa hak nya? Ia sendiri yang menyembunyikan diri di balik label sahabat.
“Kalau begitu, nikahi dia,” kata Charsa menjejalkan kripik kentang, sambil kembali menatapi layar televisi. Syarafnya butuh pengalihan agar tidak menumpahkan air mata.
“Baiklah...”
Charsa melirik Wisnu sambil mengangkat alis. Bingung dengan persetujuan instannya. Biasanya Wisnu selalu ingin berdebat sampai Charsa bisa meyakinkan logika dan rasionalitasnya—walau jarang terjadi. Wisnu terlalu keras kepala bila sudah membuat keputusan.
Sesaat mereka terdiam sebelum akhirnya Wisnu angkat bicara lagi.
“Tapi dia ga kaya lo, Char. Gue ga tau apa yang salah dengan gue dan persahabatan kita. Tapi lo selalu bisa bikin gue merasa complete. Kaya lo adalah all in gue Charsa.”
Charsa tersentak mendengar pernyataan Wisnu dan menatapinya. Bingung harus merespon apa.
“Gue ga bisa milih apakah jalan gue adalah bersama Aira atau gue akan berani untuk mengubah persahabatan kita lebih daripada ini. Terkadang gue ngerasa kalau gue cinta sama lo, tetapi gue ga tau itu cukup atau ga untuk ke stage selanjutnya. Gue terbiasa dengan hubungan persahabatan kita. Gue ga yakin kalau persahabatan kita berubah lebih baik kalau kita pacaran. Menurut lo?”
“Gue... Well, I honestly do not have any idea, Wis. Gue juga ga tau. Gue bukan fortune teller.”
Kata-kata Wisnu membawa perspektif sekaligus ketakutan baru yang tidak pernah berani ditelaah oleh Charsa. Ia selalu yakin kalau ia mencintai Wisnu lebih dari sahabat semenjak dua tahun lalu, tetapi kini ia tidak tau lagi apa yang ia inginkan.
“Chars...” Wisnu kemudian bersandar di bahu Charsa. Menghirup lembut wangi leher perempuan itu. Ia memejamkan mata dan menemukan ketenangan. Ia tidak menemukan kesyahduhan yang sama ketika ia bersama Aira. Tetapi Charsa membuatnya sempurna.
Charsa menghela nafas sebelum berkata, “Lo harus bisa membedakan rasa sayang gue sebagai sahabat dan gue sebagai wanita. Itu cuma bisa terjadi kalau kita melangkah ke tahap selanjutnya. Tetapi kita toh sudah kehabisan waktu untuk mencoba. Gue membuat lo merasa complete dan Aira membuat lo bahagia. Gue ga tau rasa mana yang lebih membuat lo nyaman, yang gue tau kesempurnaan belum tentu membahagiakan, Wis.”
Wisnu menghela nafas dan menyurukan wajahnya lebih dalam di leher Charsa.
“Nikahi Aira, Wis...”
Charsa memejamkan matanya sebelum tersenyum getir. Kemudian ia memalingkan wajahnya untuk mengecup kening Wisnu. Merestui keputusannya untuk menikahi Aira.

++++