9th November
Dear kamu…
Sudah 30 hari dan aku menghitungnya dengan
teliti semenjak kamu meninggalkan aku tanpa kata. Aku tahu akulah yang salah
karena telah membiarkan orang itu merusak apa yang kita punya. Tapi, aku juga
merasa kalau ini tidak adil untuk kita. Ruang dan masa yang tidak adil. Satu
minggu setelah satu tahun. Kamu cuma memberiku satu minggu untuk bersamamu,
satu minggu sebagai upah telah mencintaimu setahun belakangan ini.
Sekarang aku sudah tidak tahu lagi tentang
keadilan takdir. Tapi percayalah, aku tidak akan mengutuk takdir untukmu.
PS: Tolong paksa aku menyerah.
Sincerely,
Moonlight
++++
“Moon, itu
dia ngeliatin lo tuh!” Skriva sibuk menyikut Moonlight agar melihat ke arah
laki-laki yang menjadi…sudahlah, Moonie--begitulah panggilan Moonlight--tidak tahu lagi harus melabeli perasaannya ke laki-laki itu dengan nama apa.
“Aku tau Va,
dan dia bakal langsung buang muka kalo lo seheboh itu,” kata Moonie acuh
padahal ia tahu benar rasa tatapan laki-laki itu menghujam punggungnya.
“Hehehe. Maaf
sih, lagian katanya lo kangen ama dia,” kata Skriva mengerucutkan bibirnya
sambil kembali membaca bukunya dengan bersandar nyaman
di pundak Herf, kekasihnya.
Beberapa
saat kemudian Moonie, Skriva dan Herf masing-masing tenggelam dalam kesibukan
mereka. Herf sibuk mengetik dengan laptopnya, Skriva dengan bukunya, dan
Moonie, ia sibuk menahan diri untuk tidak mengalihkan pandangan ke laki-laki
itu.
Tapi ia
kangen, ia melirik sedikit dan laki-laki itu sedang sibuk dengan laptopnya.
Moonie suka wajah seriusnya. Rambutnya berantakan, Moonie tersenyum geli, rambutnya
ketika frustasi seperti Super Sonic, acak-acakan dan berdiri. Moonie ingat
benar ketika mereka bekerja sama dalam satu project kampus, seminggu yang
sangat berharga. Seminggu dimana laki-laki itu selalu berada di dekatnya,
berbagi ketenangan yang nyaman maupun rasa frustasi karena proyek mereka.
Moonie tidak
sadar kalau ia memandangi laki-laki itu cukup lama sampai lelaki itu menyadari
dan membalas tatapannya. Tubuh Moonie kaku karena terkejut.
Tidak,
mereka tidak bertukar senyum. Mereka hanya menatap dan terdiam sampai waktu
yang menyadarkan mereka untuk memalingkan tatapannya.
Ya, dia
kangen.
Damn?
++++
Sudah sebulan Sunny menghindari Moonie, mereka tidak lagi bertukar sapa
bahkan sampai bertukar pandang. Moonie sibuk merengkuh sisa-sisa harga dirinya
sedangkan Sunny sibuk menghindari masalah antara mereka berdua. Terlalu banyak
hal-hal yang tidak terkatakan sampai membuat lidah mereka kelu dan keberanian
mereka menciut. Moonie tahu bahwa pada akhirnya masalah antara mereka berdua
akan berdebu dan usang, ia hanya berharap ketika hal itu terjadi, semua bisa
kembali normal.
++++
Nafas Moonie memburu ketika ia melihat siapa yang ada di depan kamar kost
nya. Gedoran pintu dan getaran telepon genggam membuat jantungnya berpacu.
“Permisi Mba, Moonie nya ada di dalam kamarnya ga ya?” tanya suara
laki-laki yang sangat familiar di telinga Moonie, Gavin.
“Mba Moonie kayanya lagi ga ada deh Mas, tadi lagi keluar,” terdengar
jawaban dari Rara, tetangga kost Moonie. Moonie menghela nafas lega ketika Rara
membantunya keluar dari kost itu.
“Oh gitu? Yaudah nanti saya balik lagi,” tanggap Gavin kecewa.
Beberapa menit kemudian, Moonie mengintip dari balik gorden. Sudah tidak ada orang.
Dengan terburu-buru ia memasukkan barang-barannya di tas travel, berganti
pakaian dan bersiap untuk pergi. Ia harus pergi sebelum Gavin menemuinya.
Pelan-pelan ia keluar dari kamar, tidak berani lewat pagar depan. Akhirnya
Moonie naik ke loteng, ia tahu benar kalau antara loteng tempat jemuran kost
dan loteng tetangga sebelah berdekatan dan hanya di batasi pagar. Hanya itu
jalan satu-satunya ia bisa pergi tanpa bertemu Gavin. Dikeluarkannya ponsel sebelum ia menghubungi salah satu
sahabatnya.
“Halo? Please tolong gue...”
++++
Aku sayang kamu, kamu dimana?
Sender: Gavin
Date/Time: 120310/11.02
Jangan pengecut, keluar lo!
Sender: Gavin
Date/Time:120310/11.05
Heh pecun! Setelah apa yang gue lakuin buat
lo, lo mau ninggalin gue? Kenapa lo emang selingkuh kan sama cowok itu? Itu kan
alasan lo mutusin gue. Dasar pecun gatau diri!
Sender: Gavin
Date/Time: 120310/11.10
Sayang, aku sayang kamu. Sayang banget. Aku
kangen kamu.
Sender: Gavin
Date/Time: 120310/11.12
Sms cacian bercampur makian bergantian masuk ke ponsel Moonie. Tidak
satupun terbalaskan. Dering telponnya pun tidak berhenti berkumandang memenuhi
ruangan rapat. Setiap kali berbunyi, Moonie langsung menolaknya. Tidak ingin ia
angkat.
Tanpa disadari oleh Moonie, Sunny yang duduk dekat disampingnya melirik
ponsel Moonie sebelum menatapnya bingung.
“Kamu enggak mau ngangkat telponnya apa?” tanya Sunny mengalihkan
konsentrasi Moonie dari laptopnya.
“Hah? Umm...enggak,” kata Moonie gugup.
“Oh...” tanggap Moonie mengangguk, tampak penasaran tetapi tidak mau ikut
campur lebih jauh.
“Kamu keganggu ya? Maaf ya,” kata Moonie langsung mematikan ponselnya dan
memasukannya cepat-cepat ke dalam ransel sebelum kembali bekerja.
Setelah itu tidak ada lagi kata yang terucap, Moonie hanya berharap Gavin
tidak senekat itu hingga bisa mencapai Suuny. Tetapi dalam hati Moonie tahu
bahwa Gavin bisa melakukan apa saja.
++++
“Hubungan lo ga sehat, Moon. Mending lo tinggalin dia sebelum semuanya
terlambat,” kata Skriva setelah mendengar cerita Moonie.
Mereka sedang duduk santai di toko burger kesukaan mereka. Hari itu Moonie
sedang kacau, semua karena pacarnya, Gavin.
“Tapi, gue sayang sama dia, Skriv. Mungkin setelah gue putusin dia kali ini
dia akan berubah,” kata Moonie menggigit bibir bawahnya.
“Hah? Berubah? Yakin lo? Secara ya dia ternyata masih berhubungan sama
mantannya terus yang lebih parah dia itu over posesif sama lo. Ya kali Moon, lo
mau jadi apa kalau terkekang begitu? Lo itu udah dikhianati, apa yang membuat
lo berpikir kalau lo enggak akan dikhianati lagi?”
“Gue...”
“Just think about it, Moon,” kata Skriva memotong semua pikiran yang
berlari kocar-kacir di otaknya.
++++
“Hah? Kamu mutusin aku?” tanya Gavin menatap Moonie yang ada di depannya.
“Iya...”
Keheningan di taman dekat rumah Moonie semakin mencekam. Jantung Moonie
berlari kencang, tidak peduli dengan ketenangan mutlak di wajahnya. Ia harus
melakukan ini.
Gavin berdiri dari tempat duduknya dan meremas rambutnya sambil menatap
Moonie nanar.
Dengan cepat, Gavin mencengkram kedua lengan Moonie dan menatap
mata Moonie dengan penuh kebencian. Membuat Moonie bergidik.
“AKU UDAH BILANG AKU MINTA MAAF KAN? AKU CINTA KAMU! APA LAGI YANG KURANG?!
HAH?!”
“Apa sih Gavin, lepasin! Sakit!” ronta Moonie.
“LO TAU LO APA? LO PELACUR! ANJING! SETELAH APA YANG KITA LALUI LO
NINGGALIN GW SEKARANG?! GARA-GARA ADA COWOK LAIN KAN?!” bentak Gavin lagi.
“Aku enggak selingkuh Gavin, kamu lah yang selingkuh,” Moonie berusaha
keras agar suaranya tetap stabil meski emosi meletup-letup di hatinya. Dia
bukan cewek lemah. Dia tidak mau berakhir seperti ini. Ia tidak ingin
meneruskan hubungan rusak ini.
“AKU?! AKU?! INI MASIH SOAL RARA! DIA ITU UDAH MASA LALU. GUE CINTA SAMA
LO, DAMN IT!” Gavin melepaskan cengkramannya dan menendang tempat sampah di
sebelahnya keras sampai sampahnya berhamburan di sekitar bangku taman tempat
mereka duduk tadi.
Nafas Moonie memburu sebelum ia mengambil langkah seribu dan berlari
sekuat-kuatnya menuju rumahnya sebelum Gavin berbalik dan mengejarnya.
“HEH MOONLIGHT! ANJING! SINI LO, KITA BELOM SELESAI NGOMONG!”
Moonie
berlari dan tidak menatap ke belakang sampai ke rumahnya. Kakinya dikayuh sekuat tenaga untuk mencapai rumahnya melebihi kecepatan
lari Gavin. Ia tidak mau tertangkap, ia harus lepas. Moonie memacu larinya
lebih kencang ketia sudah melihat pagar rumahnya di ujung jalan. Dengan cepat
ia membuka pagar dan langsung mengembok pagar besi itu dari
dalam, tepat ketika Gavin sampai di depan rumahnya beberapa detik
setelahnya.
Terengah-engah,
ia menatap Gavin dan berharap itu akan menjadi tatapan terakhir untuk mantan
kekasihnya itu.
“Maaf Gavin,
tapi hubungan rusak kaya begini udah gabisa dilanjutin lagi,” kata Moonie diantara nafas kelelahannya.
“Moonie,
Sayang, aku sayang sama kamu. Aku janji aku enggak akan ngebentak kamu lagi.
Aku janji tidak akan lagi ada Rara,” kata Gavin tiba-tiba menangis sambil
memegang pagar tinggi rumah Moonie.
“Itu bukan
sayang, Gavin. Kamu udah nyakitin aku dan aku udah nggak mau lagi terlibat,”
kata Moonie.
Tiba-tiba
air muka Gavin berubah menjadi penuh kebencian, tidak ada lagi sisa air mata
yang ada hanya kebencian.
Moonie
terkesiap melihat perubahan air muka yang secepat itu. Skriva benar, Gavin
memang sakit. Kesakitan yang disembunyikan di balik kata cinta.
“Dasar
pelacur! Gue juga enggak butuh lo, anjing!” bentak Gavin tiba-tiba.
Moonie baru
menyadari bahwa ia sudah sangat familiar dengan makian itu dan itu salah.
Seharusnya ia tidak familiar, ia lebih berharga dari ini. Gavin tidak pantas
mendapatkannya, ia berhak mendapatkan hal yang lebih baik. Ia tidak mau
dicintai dengan cara seperti ini. Ia tidak ingin dicintai berlebihan sampai
tidak ada lagi akal sehat di dalamnya. Ia ingin dicintai dengan rasional dan
sehat. Ia harus lepas!
Moonie
menatap Gavin tepat di matanya, melangkah ke depan Gavin dengan pagar rumahnya
sebai pembatas.
“CUKUP!”
bentak Moonie menghentikan rentetan makian Gavin. Gavin terbelalak dan tampak
waspada.
“Kamu sakit Gavin, kamu butuh bantuan. Sebaiknya sekarang kamu pergi dan kita
tidak usah bertemu lagi. Kamu
membuat aku muak dan aku membuat kamu sakit, nggak ada lagi
yang bisa diteruskan.”
Dan dengan
kalimat itu, Moonie berbalik meninggalkan 4 tahun perjalanannya dengan Gavin.
Tanpa mengetahui bahwa kerusakan hubungan itu belum berhenti sampai disana.
++++
Lo tau apa? Lo udah ngancurin gue, tetapi
tenang gue nggak akan ngancurin lo. Paling nggak tidak secara langsung. Tapi
melalui dia, ia si bangsat Sunny. Gue ga bisa ngedapetin
lo maka dia juga ga akan ngedn apetin lo!
Sender:
+62827809901
Date/Time: 170310/13.05
Begitu
membaca pesan dari Gavin, nafas Moonie memburu. Ia harus segera bertemu dengan
Sunny sebelum Gavin berhasil menemuinya. Ia tidak akan membiarkan Gavin
menghancurkan sesuatu yang berhasil ia bangun sedikit demi sedikit dengan
Sunny. Ia tidak akan membiarkan Gavin merusak hubungannya dengan Sunny. Mereka
belum sedekat itu, Moonie belum berhasil merebut hatinya. Moonie baru menyentuh
kulit kehidupan Sunny, ia ingin jauh lebih dalam dan ia tidak akan membiarkan
Gavin merenggut prosesnya.
++++
“Gue stress banget, Va,” kata Moonie keesokan harinya ketika mereka berdua baru
keluar kelas. Dengan lambat-lambat Moonie dan Skriva berjalan menyebrangi
halaman kampus.
Hari itu cahaya matahari terik mengikuti panasnya hati Moonie karena Gavin.
Liburan weekend yang ia pakai khusus
untuk pulang dan menyelesaikan urusannya dengan Gavin membuat mood nya berantakan.
Ia tidak lagi ingin melakukan hal yang lain. Sebagian besar ia menyesali karena
pernah terlibat di dalam hubungan penuh obsesi seperti yang ia pernah punya
dengan Gavin, di sisi lain ia sangat takut akan tindakan Gavin selanjutnya.
Dari kejauhan tampak Herf berlari-lari mendekati mereka berdua.
“Moonie, cowok lo lagi ngegebukin Sunny!” kata Herf.
Nafas Moonie tercekat. Kemudian ia berlari mengikuti Herf. Di lapangan
parkir, disanalah Moonie menemukan Sunny berdarah-darah karena dihajar oleh
Gavin. Beberapa kali Sunny membalas pukulan Gavin tetapi belum membuat cowok
itu tumbang.
“Herf, pisahin please?” desak Skriva menarik lengan baju cowoknya.
Dengan cepat Herf memisahkan mereka berdua. Beberapa mahasiswa lain juga
melerai dan mengusir Gavin pergi dari kampus. Satpam berlari menghampiri mereka
dan membantu untuk mengusir Gavin.
Moonie menghapus air matanya ketika melihat Sunny tampak babak belur. Semua
karena ulahnya pula. Moonie langsung berlari menghampiri Sunny yang kini
berdiri di samping Herf. Sunny meludah beberapa kali untuk membuang darah di
dalammulutnya. Ia mengelap darah yang keluar dari hidungnya dengan lengan
bajunya.
“Sunny...” panggil Moonie pelan.
Sunny menatap Moonie dengan tatapan dingin sebelum melewati Moonie, pergi
tanpa sepatah katapun.
++++
“Moon menurut lo oke ga?” kata Skriva ketika fitting kebaya di kamar.
Moonie menatap sahabatnya itu, sayang sekali mereka tidak bisa lulus
berbarengan. Besok adalah wisuda periode awal tahun, wisuda sahabatnya dan juga
dia—Sunny. Sudah dua tahun berlalu namun tidak ada yang berubah antara Moonie
dan Sunny. Ya, mereka sudah kembali bekerja bersama di beberapa kepanitiaan.
Mereka juga sudah keluar dari zona perang dingin, tetapi tidak pernah ada
penyelesaian. Semua kepahitan hanya terpendam di ruang tergelap dan terdalam.
Hal ini jelas membuat Moonie tidak nyaman.
“Udah oke kok,” kata Moonie seadanya. Menatap sahabatnya itu sedih.
“Lah lo kenapa manyun gitu dah?” tanya Skriva duduk di sebelah Moonie.
Kamar kost Skriva saat itu sudah penuh sesak dengan kardus-kardus yang siap
dikirim kembali ke rumahnya.
“Enggak, gue sedih aja. Besok lo dan Sunny akan wisuda. Gue sedih karena lo
bakal ninggalin gue disini dan Sunny...well, nggak pernah ada penyelesaian.
Kayanya masih ada yang nyesek gitu di hati gue,” kata Moonie.
“Moon, kalo masalah gue mah lo nggak usah khawatir. Toh gue bisa maen ke
mari, lagian pertengahan tahun ini lo kan juga udah lulus. Setiap orang kan
punya waktu dan rencananya masing-masing. Ya kan?”
Moonie mengangguk-angguk sebelum berkata, “Kalo soal Sunny?”
“Itu pilihan lo besok,” kata Skriva menepuk pundak sahabatnya sebelum
berdiri dan berganti pakaian.
++++
Di tengah keramaian Moonie berusaha menemukan Sunny. Tiga tangkai mawar
hitam dan satu tangkai mawar putih ada ditangannya. Rangkaian bunga sederhana
itu disertai dengan sebuah kartu berwarna putih berisikan kata-kata yang tidak
pernah bisa diungkapkan di kehidupan nyata.
Entah siapa yang pengecut, Moonie atau Sunny? Atau keadaan mereka yang
tidak mengizinkan? Sudah terlalu lama Moonie menyerah untuk mendapatkan
jawabannya. Sekarang ia hanya menginginkan penyelesaian. Sudah lelah ia
mempertahankan kisah ini.
Sebuah akhir yang pantas, itulah yang diinginkan oleh Moonie.
Nafas Moonie tercekat ketika ia melihat sosok yang begitu ia rindukan
sedang memakai toga dengan selempang cum laude. Terlihat begitu mempesona
dengan senyumannya yang dingin tetapi menyejukan. Ini adalah saatnya atau tidak
sama sekali.
Pelan-pelan Moonie mendekati Sunny, menunggu giliran untuk mengucapkan
selamat atas kelulusannya. Ia menghela nafas ketika tinggal mereka berdua
disana. Sunny memeluk banyak buket bunga dan tampak kewalahan.
“Sini-sini aku bantuin,” kata Moonie sambil mengambil beberapa bunga di
tangan Sunny.
“Eh Moon, iya nih banyak banget ya! Aku sampe bingung.” Sunny nyengir.
“Yaah padahal aku mau nambahin lagi loh satu, ini buat kamu.” Moonie
menyodorkan bunganya diantara rangkaian bunga yang ia pegang.
Penasaran, Sunny mengambil bunga dari Moonie. Ia segera membuka
kartunya dan senyumnya menghilang.
“Moon,” bisik Sunny menatap Moonie.
“Aku ingin bicara sama kamu, aku ingin menyelesaikan segalanya. Bisa ga
kita ketemu di tempat biasa kita makan bareng dulu malem ini?”
Sunny tidak berkata apa-apa. Ia hanya terdiam. Tidak berakata apa-apa.
Tidak ada ekspresi, bahkan tidak ada lagi sisa kebahagiaan atas kelulusannya.
Tidak dapat dipahami apakah Moonie atau Sunny yang merusak hari itu. Tidak ada
yang tahu.
Melihat reaksi Sunny yang berubah kaku, Moonie pun mencoba mencairkan
suasana dengan tertawa garing.
“Yaudah ya, aku pergi dulu. Sekali lagi, selamat! Sampe ketemu jam 7
nanti!” Moonie segera mengembalikan tumpukan bunga Sunny sebelum berbalik dan
meninggalkan lelaki itu.
++++
Tangan gemetar Moonie merapikan tumpukan surat di hadapannya. Berhati-hati
agar kertasnya tidak terkena lilin di mejanya. Moonie duduk di pojok rumah
makan, tempat yang menghadap ke arah sungai yang mengalir. Rumah makan murah
itu memang tidak mewah tetapi tema outdoor yang diambil membuatnya nyaman.
Dengan kantong mahasiswa, dulu Moonie dan Sunny suka makan disini. Walaupun
mereka tidak benar-benar pernah makan berdua disana, tetapi rumah makan itu
adalah favorit mereka dan teman-teman mereka.
Tumpukan surat yang tidak terkirimkan di genggaman Moonie terasa dingin,
atau memang telapak tangannya yang terasa dingin. Moonie melirik jam tangannya,
sudah jam setengah 8, Sunny belum kunjung datang.
Mungkin dia terlambat, sabar, Moonie...
Moonie mencoba menghibur hatinya sendiri. Sebelum ia mengeluarkan hangphone
nya untuk menghubungi Sunny.
Tuuut...tuuut...
Bunyi nada sambung itu justru membuatnya merasa sangat jauh dari Sunny.
Semakin jauh ketika tidak ada jawaban.
Moonie memutuskan untuk menghubungi Sunny lewat sms tetapi belum ia
mengetik, sudah ada sms masuk dari Sunny.
Moonie, saya tidak bisa menemui kamu.
Kalau ada apa-apa diselesaiin dari sms aja.
Thx.
Sender : Sunny
Date/Time: 210513/19.43
Dibacanya pesan singkat dari Sunny itu
berkali-kali, tetapi tidak ada yang berubah. Sunny tidak mau menemuinya dan ia
meminta penyelesaian dari sms. Sebuah pesan singkat menjadi penyelesaian
kisahnya? Penyelesaian segalanya?
Pengecut.
Moonie tertawa miris, air matanya tak terasa
mengalir. Segala perasaan berkecamuk, pahit.
Aku menghabiskan 2 tahun hidupku jatuh cinta pada pengecut.
Tatapannya kemudian beralih ke tumpukan surat
di genggamannya. Lama ia menatapi surat-surat itu sebelum dengan kaku tangannya
membawa surat itu ke lilin di depannya. Api melahap surat itu satu persatu.
Seluruh tulisannya, seluruh kisahnya berakhir menjadi debu. Semua surat tak
tersampaikan tetap menjadi yang tak tersampaikan. Tidak memiliki akhir.
Sia-sia.
Itulah akhir kisahnya, tidak ada akhir.
++++
Skriva tampak cantik dengan kebaya putih yang
menjuntai panjang. Wajahnya bercahaya karena kebahagiaan. Moonie ikut tersenyum
melihat sahabat masa kuliahnya bahagia. Ia tidak percaya kalau sudah lima tahun
berlalu semenjak mereka meninggalkan kampus. Dan disinilah Skriva berdiri,
menikahi kekasih semasa kuliahnya, Herf. Moonie bahagia karena Skriva menemukan
akhir yang pantas untuk kisahnya. Tidak seperti kisahnya dahulu.
Moonie tertawa geli dalam hati, bisa-bisanya
ia mengingat kisahnya dengan Sunny. Lima tahun sudah berlalu semenjak Sunny
menolak untuk menemuinya. Moonie sudah bukan lagi gadis naif seperti dahulu, ia
belajar banyak dari kisahnya. Ia bangkit dari patah hatinya serta menjadi lebih
kuat. Ia berhak mendapatkan yang terbaik. Kepercayaan dirinya kini mencapai
tahap cekikikan-kalau mengingat-kisah-cintanya-dengan-Sunny. Sebuah kisah irasional
dan platonik.
Herf mengecup kening Skriva saat mereka
diresmikan sebagai suami istri yang sah. Dengan rasa terharu bercampur dengan
kebahagiaan, Moonie berdiri dan bertepuk tangan untuk sahabatnya. Pasangan
pengantin baru itu kemudian berjalan menyusuri lorong diantara para tamu
undangan yang hadir. Skriva bahkan menyempatkan diri untuk berhenti di depan
Moonie untuk memeluknya. Mereka sudah siap untuk pesta kebun yang
diselenggarakan sebagai resepsi pernikahan.
Ah pesta pernikahan, selalu menjadi saat
tepat untuk merayakan cinta. Moonie selalu menyukai pesta pernikahan. Dengan
seksama ia mengamati setiap undangan yang datang, mencari-cari diantara
kerumunan. Berharap bertemu orang yang tepat untuk berbagi cinta dengannya hari
itu. Kekecewaan menilik hatinya karena orang yang ditunggunya belum
datang...atau mungkin, belum? Moonie mengangkat bahu dan mengikuti kerumunan
untuk keluar dari kapel kecil yang indah itu dan menuju ke arah taman.
Taman di kapel kecil itu sudah dihias dengan apik. Matahari sore menjadi latar dan pecahayaan yang indah. Rangkaian pohon dan bunga dihiasi oleh beberapa lampu kelap-kelip berwarna coklat serta lampu taman. Dekorasi yang digunakan serba putih. Tatapan Moonie kemudian berpindah pada Skriva dan Herf yang kini sedang berdansa di dalam tenda putih terbuka. Mereka bergerak dengan anggun disertai tawa lepas kebahagiaan. Orkestra kecil mengiringi dansa pertama mereka. Pemandangan dihadapannya itu membuat Moonie tersentuh dan tersenyum lebar.
Setelah menolak ajakan beberapa teman-teman
kuliah yang mengajaknya untuk duduk di meja di dekat lantai dansa, Moonie bersandar pada salah satu lampu taman. Memilih untuk
mengamati sahabatnya itu dari jauh. Entah mengapa Moonie sedang ingin sendiri.
Menikmati kebahagiaan sahabatnya dan juga kebahagiaannya sendiri.
“Moonie?”
“Err ya?” jawab Moonie berbalik untuk menatap asal
suara yang menyapanya.
Disanalah ia berdiri, mengenakan jas hitam
dengan dasi abu-abu. Tidak banyak yang berubah dari wajah dan
posturnya, ia persis seperti yang Moonie ingat. Persis seperti
kenangan-kenangan yang selalu menghampiri Moonie. Namun, sebaik-baiknya
kenangan Moonie tentangnya, tidak akan pernah bisa menandingi sosok nyatanya.
“Sunny? Oh hai!” sapa Moonie. Entah apa yang
terjadi dengan otak atau hatinya, Moonie tidak lagi merasa gugup. Jantungnya
tidak berpacu, ia hanya melihat Sunny. Dan ya, yang berdiri disana hanya Sunny.
“Apa kabar kamu, Moon?” Sunny menghampiri
Moonie dan berdiri di sampingnya. Ikut menonton Skriva dan Herf berdansa.
Moonie bisa mencium aroma parfum yang sama
melekat di tubuh Sunny. Masih sama seperti dulu, selalu membuat nyaman.
“Aku baik, kamu gimana?” tanya Moonie kasual.
“Aku juga baik, oke banget ya Skriva sama
Herf akhirnya married,” kata Sunny
sambil menyeruput minuman di gelasnya. Sunny tampak gugup, membuat Moonie ingin
tertawa geli namun ia menahannya. Demi kesopanan dan hubungan baik yang ingin
ia ciptakan.
Satu hal yang disadari oleh Moonie, ternyata masa lalu mereka masih mempunyai pengaruh yang signifikan untuk Sunny dan mungkin dirinya.
“Iya, mereka udah lama banget. Kisah masa
kuliah berakhir bahagia gini, oke ya?” Moonie melirik Sunny.
“Iya, kisah masa kuliah,” bisik Sunny.
“Sayang kisahku nggak berakhir kaya begitu.
Tapi, yaudahlah ya kisah orang kan beda-beda, ya kan?”
“Memang kenapa dengan kisahmu, Moon?” tanya
Sunny menatapnya serius. Gestur tubuhnya berubah menjadi kaku.
Moonie tertawa kecil menatap masa kuliahnya. Ya, Sunny adalah masa kuliahnya yang kini berdiri di masanya yang sekarang. Berdiri di hadapannya. Membuat Moonie tersenyum sendiri—lucu dengan permainan waktu dan takdir.
“Kisahku nggak punya akhir,” kata Moonie
masih tersenyum tanpa melepaskan kontak mata dengan Sunny.
“Mungkin kisahmu memang nggak perlu berakhir,
Moon,” ujar Sunny mantap.
“Oh ya? Menurut kamu begitu?” Monnie kemudian
menyeruput minumnya. Ia benar-benar menikmati moment ini dan mengamati setiap
ekspresi wajah Sunny. Sunny tampak berpikir keras. Gestur familiar yang tidak
akan pernah bisa dilupakan oleh Moonie. Keningnya berkerut dan alisnya hampir
menyatu, dengan tangan yang dimasukan ke dalam saku celana. Sunny seperti ingin
menyampaikan sesuatu yang belum tersampaikan.
“Moonie, tentang malam wisudaku itu aku...”
ujar Sunny mengawali pembicaraan.
“Bunda!” sebuah tangan kecil memeluk kaki
Moonie.
“Arya, udah sampe?” kata Moonie kemudian
mengangkat anaknya yang sudah berusia dua tahun dalam gendongannya.
“Hai, Dear!”
sebuah tangan hangat yang sangat familiar melingkari bahu Moonie. Radhitya,
suaminya.
“Hai!” kata Moonie menatap suaminya yang tampan dengan jas. Walau sehari-hari Dhitya juga bekerja dengan jas, Moonie tidak pernah berhenti jatuh cinta ketika suaminya mengenakan setelan formal tersebut.
Ah, itu hanya bualan karena apapun yang dikenakan dan dilakukan Radhitya selalu membuat Moonie jatuh cinta setiap
hari, menit, dan detik.
“Oh ya Dear,
ini Sunny, teman kuliahku. Sunny, ini suamiku, Radhitya,” kata Moonie
memperkenalkan Radhitya pada Sunny yang tampak shock.
“Sunny?” Dhitya melirik Moonie sekilas dengan
senyum separuh sebelum menjabat uluran tangan
Sunny. “Saya Radhitya.”
“Sunny,” balas Sunny kaku, kemudian
melepaskan jabatan tangannya dengan segera.
“Asik ya jadi kaya reunian gini? Ketemu
banyak temen kuliah,” kata Dhitya tersenyum pada Moonie. Senyum pernuh arti.
Suaminya mengetahui segala sesuatu tentang
Sunny dan kini ketika lelaki itu berdiri diantara mereka berdua, tidak ada
kekhawatiran di hati Moonie. Dhitya terlalu tangguh untuk cemburu. Moonie mencintainya dengan ketulusan yang melebihi ketulusan cintanya
pada Sunny. Sebab, Radhitya telah lebih dulu mencintai dia dengan tulus.
Radhitya lah yang membasuh setiap luka dan melenyapan kepahitannya. Tidak ada
lagi ruang gelap di hatinya ketika Radhitya datang.
Radhitya seperti menggantikan
posisi Sunny dalam hidupnya. Tidak, Dhitya tidak pernah mengusir Sunny secara
paksa dari hidup Moonie. Dengan proses yang manis dan jauh lebih berani,
Radhitya berperang dengan masa lalu Moonie dan menang. Kini, Radhitya adalah
matahari Moonie. Matahari yang jauh lebih terang dan menghangatkan hatinya.
“Iya,” tanggap Sunny kaku kemudian menenggak
habis semua minumannya.
Dhitya menatap Moonie sambil mengangkat satu
alisnya sebelum tersenyum hangat. Tanpa perlu banyak kata, suaminya sudah
mengerti kalau Moonie memerlukan saat ini.
“Okay jagoan, ayo kita ketemu si aunty
cerewet buat ngucapin selamat!” Dhitya mengambil Arya dari pelukan Moonie.
“Aku ke Skriva sama Herf dulu ya, Dear,” kata
Dhitya mengecup kening Moonie sebelum mengangguk singkat pada Sunny.
Menatap punggung Dhitya yang menggendong
putra mereka membuat Moonie jatuh cinta lebih lagi kepada suaminya. Apalagi
ketika lelaki itu memberikan waktu untuk Moonie menyelesaikan kisahnya hingga
tuntas dengan Sunny.
“Jadi kamu sudah menikah,” kata Sunny menatap
Moonie. Mata Sunny tampak berkaca-kaca dan terluka. “Tampaknya Herf lupa
memberiku informasi kecil ini.”
Moonie menghela nafas panjang kemudian
tersenyum pada Sunny, “Ya aku sudah menikah, Sunny.”
“Oh...” tanggap Sunny memalingkan wajahnya
dari Moonie.
“Radhitya adalah matahariku. Namanya punya
arti yang sama dengan namamu.”
“Ya, aku tau...”
Moonie kemudian mengambil gelas kosong dari
tangan Sunny dan meletakannya di meja taman terdekat. Dengan perlahan ia membalikan tubuh lelaki itu untuk menghadap ke arahnya.
Sunny menatap Moonie dengan tatapan terluka, tubuhnya kaku.
“Nggak Sunny, kamu nggak tau. Kamu nggak tau
kalau kamu lah masa kuliahku. Kamu pernah menjadi matahariku. Kamu nggak pernah
tau karena kamu enggak pernah mau tau. Bahkan ketika aku ingin memberitahumu.
Menyelesaikan semuanya. Menyelesaikan Sunny, bukan meminta hatimu. Tapi, kamu
terlalu pengecut bukan? Dan kini hariku sudah berganti. Kisahmu sudah aku
selesaikan dengan sempurna.”
Sunny terdiam. Moonie sampai heran mengapa
Sunny bisa tampak sangat terluka kalau dulu memang ia tidak peduli. Sayangnya
keingintahuannya sudah lama berhenti, berhenti ketika Dhitya datang. Moonie
menatapi Dhitya yang beberapa kali mencuri pandang ke arah mereka berdua
diantara kesibukannya menjaga Arya. Kepercayaan yang diberikan Dhitya begitu
luar biasa, Moonie tersenyum menatap suaminya itu. Tidak sabar untuk berdansa
dengannya dan Arya, seperti yang telah dijanjikan oleh Dhitya pagi ini.
“Kayanya kita harus balik...”
“Moonie, selamat ya untuk pernikahan kamu.
Aku bahagia melihat kini kamu sudah bahagia. Setelah segala kebrengsekanku
dulu, kamu berhak mendapatkan kisah yang sempurna. Tetapi aku punya alasan
sendiri dan sekarang sudah nggak penting.” Sunny tersenyum separuh pada Moonie.
“Label penting memang tergantung masa ya,
Sunny? Dahulu sangat penting, tapi siapa sangka seiring berjalannya waktu label
itu berubah. Ya kan?” balas Moonie tidak bisa menahan sarkasme dari nada
suaranya.
Segala sesuatu memang ada waktunya, itulah sebabnya ada yang tepat
dan ada juga yang terlambat. Terlambat seperti apapun yang dipikirkan oleh
Sunny sekarang. Moonie tidak bodoh, ia mengetahui cukup banyak dari Herf tentang
perasaan Sunny yang sebenarnya. Tetapi lagi, terlambat. Kisah mereka sudah
terlambat. Usang ditinggal oleh waktu.
“Seandainya kamu tau, Moonie...” kata Sunny
pelan, sarat emosi.
“Itulah alasan mengapa aku jatuh cinta
terlalu dalam pada Dhitya, Sunny. Dengan Dhitya tidak pernah ada kata
‘seandainya’, dengan Dhitya semua menjadi nyata. Tidak ada pertanyaan yang
tidak terjawab. Itulah sebabnya kita nggak bisa bersama, karena kisah kita cuma
sebuah pengandaian. Platonik dan hampir nggak nyata.”
Sepanjang kuliahnya, Moonie tidak pernah
melihat Sunny tertunduk kalah seperti yang kini terjadi di hadapannya. Rasa
bersalah menghinggapi hati Moonie. Kemudian Moonie mengambil kedua tangan Sunny
dalam genggamannya. Sunny mengangkat wajahnya dan menatap Moonie, tatapan itu!
Lima tahun lalu Moonie pasti sudah sembah sujud kalau bisa ditatap seperti itu
oleh Sunny, tetapi ini masa sekarang. Tidak ada lagi rasa yang tersisa...dan
Monnie tidak menyesalinya.
“Sunny, aku nggak baik buat kamu. Begitu juga
kamu nggak baik buat aku. Itulah kenapa kita tidak bersama. Ya, aku pernah mencintaimu
bahkan mungkin kamu pernah mencintaiku...”
“Aku masih cinta sama kamu!” seru Sunny,
mengeratkan genggaman tangannya di tangan Moonie.
Nafas Moonie tercekat, ia sempat kehilangan
kata beberapa saat tapi ia tahu kalau ia harus membuat Sunny mengerti. Seperti
ia telah mengerti.
“Well, kamu terlambat. Kisah ini terlambat.
Maaf...”
“Moonie...” suara Sunny tampak goyah, namun
Moonie terlalu teguh sekarang. Ia belajar banyak, dan pelajaran itu justru
datang dari orang yang kini berdiri di hadapannya.
“Jaga diri kamu baik-baik, Sunny...” Moonie
melepaskan genggaman tangannya dari tangan Sunny. “Kamu akan menemukan kisah
yang tepat di waktu yang tepat. Dan aku berjanji aku akan berada didalam kisah
itu, sebagai temanmu...”
Moonie memberikan Sunny senyuman terakhir
sebelum meninggalkan lelaki itu. Ia sudah tidak sabar untuk merayakan cinta
dengan keluarga kecilnya yang bahagia. Dan disanalah mataharinya berdiri. Dua
mataharinya berdiri, Dhitya dan Arya.
“Come here hot momma, lets dance!” sambil
menggendong Arya, Dhitya menarik Moonie ke lantai dansa. Mereka berpelukan
sambil bergerak mengikuti musik berirama ceria itu.
Moonie kemudian menatap suaminya. “Soooo are
you okay?” tanya Moonie menatap suaminya sambil tersenyum kecil. Ia sedikit
khawatir mengenai aksinya menggenggam tangan Sunny.
“Well other than tried to calm my breath when my wife were holding her past’s hands? I’m okay,” jawab Dhitya dengan
nada canda. Membuat Moonie menghela nafas lega.
“I needed to make him understand. Hmmm...are
you telling me that you are jealous, Mr. Radhitya?” tanya Moonie mengerling
nakal sambil mencubit pelan pipi tembam Arya yang sibuk memainkan cincin pernikahan di
jari Moonie.
“Why Mrs. Radhitya, I am your now and future.
You stuck with me and Arya, get over it!” kata Dhitya menempelkan keningnya di
kening Moonie sambil tertawa geli.
“Ah you give me forever? Hmm... I like it!”
kata Moonie berjinjit dan mengecup kening Arya kemudian gantian menggendong
anaknya.
Hari itu terasa istimewa dan lengkap. Ia
merayakan cinta dari masa lalunya dan masa depannya. Masa lalu yang sekarang
sudah tidak lagi punya kekuatan atasnya dan masa depan yang terlalu indah untuk
dilewatkan.
Ah, raja dan pangeran kecilnya terlalu berharga
untuk dilewatkan demi sebuah dongeng klasik.
++++ FIN ++++
No comments:
Post a Comment