I’ll be waiting for you here inside my heart
I’m the one who wants to love you more
You will see I can give you everything you
need
Let me be the one to love you more…
To Love You More, David Foster
Kutatapi
bayanganku di cermin, tubuhku dibalut dengan gaun putih berpotongan anggun. Ada
sebuah pita kecil berwarna ungu Lavender di sekeliling pinggangku, pita itu
mempermanis gaun putih berbahan sifon yang aku kenakan. Riasan minimalis
kusapuh tipis dan sederhana di wajahku, tidak perlu terlalu tebal karena bukan
aku pusat perhatiannya malam ini.
Kunaikkan
sedikit dagu ku, kuarahkan tatapanku lurus ke cermin, lalu aku tersenyum. Saat
ini aku sedang berlatih tersenyum, ya berlatih tersenyum untuk hari ini. Hari
ini adalah hari bahagia. Semua orang pasti selalu ingin menampilkan senyum
terbaik mereka di setiap hari bahagia, bukan? Hal itu juga terjadi padaku, aku
ingin tersenyum dengan kebahagiaan hari ini. Walau ketika aku mengintip melalui
tirai putih di kamarku, aku bisa melihat kalau langit sedikit mendung.
Tampaknya akan hujan. Semoga saja tidak karena halaman belakang rumah ini sudah
disulap sedemikian rupa agar tampak indah untuk menyambut tamu-tamu yang akan
datang tidak lama lagi.
Suasana hari
ini benar-benar sakral, aku sedikit gugup memikirkan hal itu. Akhirnya
kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah besar tempat aku menginap beberapa
waktu sampai acara ini selesai. Kuhela nafas panjang, segera kukenakan sepatu
putihku dan keluar dari kamar. Kutelusuri lorong rumah yang panjang dan
berkarpet abu-abu ini, rumah ini terasa sangat asing namun juga menenangkan.
Aku pasti tidak akan pernah melupakan tempat ini sampai kapanpun.
“Charsa?”
suara itu menghentikan langkahku.
Aku berbalik
dan disanalah ia berdiri, mengenakan tuksedo berwarna putih yang memamerkan
tubuh tegap mempesonanya. Wajahnya bersih dari facial hair, padahal
sejauh yang kuketahui dia tidak begitu suka bercukur. Tetapi, tentu saja hari
ini ia bercukur. Bagaimana tidak? Hari ini adalah pengecualian dan mustahil ia
diizinkan untuk tampil urakan di hari se-istimewa ini.
“Loh kok
kamu belom pake dasi?” tanyaku baru menyadari kalau tuksedo nya belum lengkap.
“Well,
that’s the problem. Kamu tau kan aku enggak bisa pake dasi,” katanya dengan
wajah polos yang sudah kukenal cukup lama.
“Hahaha.
Dasar!” kataku tertawa pelan sambil menghampirinya.
“Bisa
tolongin aku enggak?” tanyanya sambil memasuki kamarnya memberi gesture
untuk mengikutinya.
Kamarnya
luas bernuansa putih dan abu-abu. Aku bisa mencium wangi parfum yang biasa ia
pakai bercampur dengan wangi alami tubuhnya yang sangat maskulin. Tempat
tidurnya besar dan serba putih, sayang tertutup dengan banyak peralatan ini-itu.
Kusadari bahwa walaupun kami hanya menginap beberapa hari disini tetapi aku
merasa kalau hal itu tidak bisa menghalangi karakternya. Kamarnya tetap
berantakan seperti kamar pribadi di apartemennya sendiri. Kini aku hanya
berharap karakternya tidak akan pernah hilang sampai kapanpun, termasuk ketika
hari ini telah lewat.
“Mana
dasinya?” kataku bingung melihat begitu banyaknya barang bertebaran.
Ia pasti
bisa membaca tatapanku sehingga ia tersenyum seperti orang tertangkap basah karena
kamarnya yang kacau balau. Ia berjalan ke arah lemari dan meraih dasi sutra putih
dari gantungan. Diserahkannya dasi itu padaku dan kuambil lalu kukalungkan dasi
itu di leher kokohnya.
Aku mencari
posisi dasi paling ideal, tanganku sibuk membuat simpul dasi yang tepat dan
rapi tetapi aku bisa merasakan tatapan matanya padaku.
“Menurut
kamu, aku lagi melakukan kesalahan ga, Sa?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaannya
menghentikan kesibukanku dan kutatap mata hitam legamnya dengan penuh tanya. Tanpa
bersuara kuminta ia untuk menjelaskan maksudnya lebih lanjut dan ia pun
meneruskan pernyataan menggantungnya.
“Menurut kamu
apa yang aku lakukan hari ini bener ga? Bagaimana kalau hari ini adalah
kesalahan? Bagaimana kalau ternyata hal ini cuma bisa bertahan sebentar?”
Aku
tersenyum sambil melanjutkan kesibukanku memakaikan dasinya.
“Kenapa kamu
bisa berpikir kaya begitu?” tanyaku santai.
“Enggak
tau…” jawabnya pelan.
Kuhela
nafasku setelah aku menyelesaikan simpul dasinya dan kembali fokus
padanya—kepada mata legamnya yang kini tampak seperti orang tersesat.
“Do you
love her?” tanyaku padanya.
“Yes…”
jawabnya.
“Does she
love you?”
“Yes…”
“Then
what’s the problem?”
“Aku merasa
kalau cinta itu enggak cukup.”
Kakiku
melangkah menjauhinya dan membawaku ke jendela besar yang ditutup oleh gordyn
putih transparan. Dari jendela lebar itu aku bisa melihat orang sedang lalu
lalang di halaman belakang. Otakku berputar mencari jawaban bijaksana dan tepat
untuk semua pertanyaannya.
“Cinta selalu
dianggap tidak akan pernah cukup memang, tapi aku selalu percaya kalau cinta
adalah fondasi. Menurutku tidak ada yang pernah cukup di dunia ini. Segala
sesuatu harus terus berkembang karena waktu tidak akan pernah menunggu kita,
begitu juga dengan kehidupan. Tetapi setiap hal butuh fondasi, setinggi atau sebesar
apapun perkembangan akan percuma kalau fondasinya enggak kuat. Aku selalu
percaya kalau cinta itu cukup, ya cinta adalah cinta dan cinta itu cukup
sebagai fondasi.”
Kami berdua
terdiam sebelum akhirnya aku mengajukan pertanyaan lagi kepadanya.
“Satu hal,
kenapa kamu bisa sampai di tahap ini? Di hari ini? Apa alasan kamu sampai kamu
bisa ada di posisi ini?”
“Well,
karena aku cinta dan aku merasa kalau hal itu perlu dipastikan dengan melakukan
segala sesuatunya dengan benar. Seperti keberadaanku disini sekarang adalah
bagian dari kepastian itu,” jawabnya. Aku bisa merasakan ia berdiri tak jauh di
belakangku.
“Terkadang
kita harus bisa membedakan antara cinta dan keinginan untuk memiliki. Cinta itu
cukup sedangkan keinginan untuk memiliki selalu menginginkan lebih,” kataku
tertawa pelan dan terdengar getir. “Pertama kamu hanya ingin memiliki hatinya,
kemudian berkembang dengan ingin menjadikannya sebagai pacar, istri atau suami.
Tak cukup dengan itu, kamu ingin memiliki anak darinya, dan begitu seterusnya
sampai kalian berdua tua dan meninggal pada akhirnya. Cinta itu sederhana,
sedangkan keinginan memiliki terlalu banyak menuntut. Kita harus bisa
membedakan itu.”
Aku berbalik
menatapnya, wajahnya tertunduk sedih. Rasa bersalah menggelitikku sedikit
karena kesedihan yang kutimbulkan di hatinya hari ini—hey, hari ini adalah hari
bahagia. Aku bahkan sudah banyak menghabiskan waktuku akhir-akhir ini dengan
terus berlatih tersenyum demi hari bahagia ini. Hal itu kulakukan agar dapat
terlihat sebahagia mungkin hari ini. Sebab, aku tidak ingin merasakan rasa yang
tidak sejalan dengan suasana hari ini—suasana bahagia.
Apalagi dia.
Dia harus bahagia hari ini!
Kuhampiri
dia dan kusentuh wajahnya dengan lembut.
“Kamu akan
baik-baik aja…” kataku tersenyum, tulus kali ini.
“Gimana kamu
bisa tahu?” tanyanya.
“Karena aku
sangat mengetahui dan memahami kalau hal inilah yang bisa membuatmu bahagia.”
“Kenapa kamu
bisa seyakin itu, Sa?” tanyannya lagi.
Kuturunkan
tanganku dari wajahnya dan menjawab, “Karena hatiku berkata begitu…”
Ia terdiam
sebentar sebelum menatapku dengan senyum manisnya. Ia menarikku ke dalam pelukannya
dan tubuh kokohnya melingkupiku dengan sangat erat. Kupejamkan mata, mencoba
memberinya segala yang ada padaku dengan harapan aku bisa mengalirkan kekuatan
dan keteguhan di hatiku padanya.
“Let’s do
this!” katanya setelah melepas pelukannya lalu ia berjalan berjalan keluar dari
kamar itu, meninggalkanku.
Kupandangi punggung
kokohnya sambil tersenyum. Beberapa saat ketika pintu kamarnya tertutup dan ia
menghilang dari pandanganku, kuijinkan setetes air mata mengaliri pipiku. Sejak
kemarin aku berusaha untuk mencegah air mataku dan memaksa hatiku untuk
mengikis setiap rasa kehilangan. Tetapi setelah melihat punggungnya menjauh aku
sadar bahwa aku merasakan elegi itu.
Tak beberapa
lama kemudian, samar-samar terdengar orkestra kecil diluar memainkan lagu Canon
in D. Dengan cepat aku berjalan ke arah jendela besar ruangan itu. Kubuka
sedikit tirainya dan mengintip apa yang terjadi diluar sana. Aku bisa melihat
ia sudah berdiri di hadapan sebuah mimbar dari kaca yang dihiasi pita putih.
Mimbar kecil itu berada di ujung karpet merah, dibalik mimbar itu ada seorang
pendeta berjubah putih yang siap menyelenggarakan upacara sakral itu.
Kulihat
seorang wanita bergaun putih panjang dan bercadar berjalan pelan menuju ke
arahnya sambil membawa bunga mawar merah jambu di tangannya. Wanita itu
berjalan diiringi dengan pengiring pengantinnya. Ketika wanita itu sampai di
dekat mimbar, ia meraih tangan wanita itu dan tersenyum penuh cinta.
“Cinta? Cintaku
padamu cukup dan aku lah yang mencintaimu lebih dalam sehingga aku harus memastikan
kalau hari ini terjadi. Hari kebahagiaanmu harus terselenggara…”
Kuhapus air
mataku dan berbalik. Kutatapi kamarnya, mencoba merekam aromanya sebelum
akhirnya aku menyerah dan berjalan kembali ke kamarku. Ketika aku sampai di
kamarku, perasaan terasing tiba-tiba menyerangku. Ya, hari ini rumah ini terasa
sangat asing.
Mungkin,
karena tidak ada ‘rumah’ bagiku lagi disini.
Tiba-tiba
aku tersadar kalau aku harus berada disana, berada di saat dia bahagia juga.
Aku tidak boleh menyaksikan kebahagiaannya dari jauh. Aku harus menjadi salah
satu saksi dan bagian dari kebahagiaannya. Kalau aku memang mencintainya, maka
aku harus berbahagia bersama-sama dengan dia.
Aku berlari
menuruni tangga menuju halaman belakang. Ketika aku sampai di halaman belakang,
aku melihat semua orang dengan khidmat menyaksikan ia mengikrarkan janji nikah
dengan begitu manis sambil menatap perempuan itu dengan penuh cinta.
Kutempati
sebuah bangku kayu kosong di baris paling belakang tanpa melepaskan tatapanku
darinya. Kurekam baik-baik wajah bahagianya.
“Saya
nyatakan kalian resmi menjadi pasangan suami istri…”
Ia mengecup
kening wanita itu. Dan aku menyaksikannya, menyaksikan kalau ia memang bahagia.
Pelan-pelan
ia berjalan bersama dengan wanita yang sekarang adalah istrinya diantara
sederetan kursi diiringi dengan sorak-sorai dari tamu undangan. Ia bahagia. Ya,
dia bahagia. Aku berdiri, menatapnya mendekat. Ia tersenyum kepadaku dan
berhenti tepat di depanku.
“Thanks
for being the Constance in my life, Charsa…” katanya menggenggam tanganku
sebentar sebelum kembali menatap istrinya.
Ini cukup.
Aku menatapi kepergiannya, menatap punggung dan gestur bahagianya.
Ya, ini
cukup.
Akhirnya aku
meninggalkan taman itu dan kembali ke dalam rumah besar asing itu. Di dalamnya
para petugas catering sedang hilir mudik mempersiapkan hidangan. Aku pun
melewati mereka dengan hati-hati kemudian menaikki tangga mewah menuju ke
sederetan pintu di lorong sepi itu.
Tetapi
kurasakan ada rasa aneh menjalari hatiku. Rasa ini sangat berbeda dengan yang
kurasakan beberapa saat lalu ketika aku membantunya memakai dasi.
Saat ini hatiku
tidak hampa lagi, aku bahagia dengan caraku sendiri. Aku bisa berbahagia karena
aku mencintainya dengan tulus dan tanpa kesombongan.
Kumasuki
pintu kedua di sebelah kiri, tempat yang menjadi kamarku. Kukenakan jaket
kulitku. Kemudian segera kusambar koper cokelat serta tas bepergian yang telah
kukemasi sejak kemari malam. Aku siap untuk pergi sekarang karena tugasku untuk
memastikan kebahagiaannya telah selesai.
Sebelum aku
keluar dari kamar itu, aku sempat menangkap bayanganku di cermin. Untuk
terakhir kalinya aku mencoba tersenyum pada bayanganku dan akhirnya aku
berhasil.
Ternyata
latihan tersenyum untuk hari bahagia ini—well, hari bahagianya—tidak pernah diperlukan
karena memang hanya kebahagiannya yang bisa membuatku bahagia.
Pada
akhirnya kami berdua sama-sama bahagia walaupun dengan alasan yang berbeda.
Kututup
pintu kamar itu dan berjalan pergi meninggalkannya bersama dengan
kebahagiaannya sambil menggenggam erat kebahagiaanku sendiri…
~FIN~